Oleh Muhammad Raihan Najmi

 

Mace kami masih seperti dulu─miskin─langka sarana pendidikan,  air bersih, teknologi, listrik, dan langka uang. Janji-janji manis yang diberikan oleh para perompak sebelum memperkosa mace itu hanya tinggal janji.  Mace kian sakit-sakitan. Sedangkan kami seperti tak mempunyai daya untuk melawan para perompak itu. Karena di atas kertas kami telah kalah. Entah apa jadinya kalau pemerkosaan itu terus dilanjutkan. Saya hanya bisa menangis dan menangis.

***

Empat tahun yang lalu, saat umur saya masih duabelas tahun. Salah satu tetangga saya yang bernama Ibu Maria pergi merantau ke Pulau Jawa. Ingin berjualan papeda kata orang-orang. Banyak orang yang bersedih atas kepergiannya, walau suatu saat dia akan kembali. Ibu Maria adalah orang yang cukup disegani di kampung kami. Dia adalah sosok yang sangat mencintai Alam Papua, dia juga selalu menjadi pengkoordinir dari berbagai ritual dan adat istiadat yang ada di kampung kami. Dia adalah orang yang penuh kasih sayang terhadap keluarga dan masyarakat adat.

Entah kenapa setelah kepergiannya, saya merasa ada yang berbeda dengan kampung kami. Kampung kami seperti menjadi kandang ayam yang sedang ditinggalkan babonnya. Dan benar saja, beberapa jam kemudian datang orang-orang asing ke rumah saya. Dua orang berkemeja rapi dan bercelana panjang hitam, sisanya adalah orang-orang berseragam polisi dan tentara. Sebagian dari mereka ada membawa pistol di pinggang dan senapan yang dicangklongkan di pundak. Tentu saja mereka tidak mencari saya, mereka mencari ayah saya─Kepala Suku Adat Mandobo.

Saya amati mereka dari jendela kamar. Mereka mengetuk-ngetuk pintu dengan sedikit kasar. Sejurus kemudian Ibu membukakan pintu dan mempersilahkan mereka masuk. Ayah datang menyalami mereka, lalu mereka termasuk ayah duduk di kursi ruang tamu. Sebagian dari orang-orang yang berseragam polisi dan tentara itu menunggu di luar. Saya mengintip dan curi dengar segala gerak-gerik mereka dari celah bilik kayu yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan kamar saya. Salah seorang yang mengenakan kemeja itu berbicara begitu banyak, ayah sesekali mangangguk-angguk. Begini kurang lebih sebagian yang kudengar:

“Perizinan ini sangat penting bagi kami pak. Dengan perizinan ini pengolahan minyak kelapa bisa berkembang semakin besar pak. Dari segala keuntungan yang kami dapatkan dari penjualan minyak kelapa itu, kami berjanji akan mensejahterakan kehidupan masyarakat adat bapak. Kami akan dirikan sekolah dan rumah sakit, kami akan buatkan sumur agar masyarakat bapak bisa mengakses air bersih, kami juga akan membagikan beberapa genset agar masyarakat bapak bisa menikmati listrik dengan baik.”

“Benarkah itu?” Tanya ayah saya.

“Tentu saja pak. Memangnya kapan kami pernah berbohong kepada bapak? Hal itu kami lakukan sebagai bentuk terimakasih kami kepada masyarakat adat. Bapak hanya perlu menandatangani saja surat-surat ini. Sangat mudah bukan.” Kata seorang berkemeja yang satunya, ia memberikan beberapa lembar kertas kepada ayah. Ayah terlihat termenung sejenak dan ragu-ragu. Namun pada akhirnya ayah tetap menandatangani kertas-kertas itu. Orang-orang itu tersenyum melihatnya, mereka menjabat tangan ayah kemudian pergi.

***

 

Sore ini saya datang menjenguk mace, setelah sekian tahun meninggalkannya─merantau ke barat. Usai membayar ojek yang mengantar saya berjam-jam untuk sampai ke desa, saya baru tau kalau ada yang tidak beres dengan kondisi mace. Jutaan kepulan asap hitam memanjati langitnya─langit Boven Digoel. Cahaya berwarna merah menyala-nyala di atas parasnya. Di sana, nun di ujung penglihatan saya mace sedang menderita. Tersentak hati saya. Kuamati sekitar─anak-anak mace (masyarakat adat)  tidak ada yang panik. Sebagian dari mereka hanya menggerutu dan menggeleng-gelengkan kepala. Seolah-olah pemandangan yang mengerikan itu adalah hal biasa bagi mereka. Hal itu membuat saya muak.

***

Sore itu, Ibu Maria datang setelah sekian tahun lamanya. Lama tidak melihatnya, tidak banyak yang berubah darinya. Kulitnya masih sama hitam, rambutnya masih keriting pendek; putih di beberapa bagian. Hanya raut mukanya saja barangkali yang semakin keriput. Cukup tua memang, tujuhpuluhan usianya, namun masih tampak sehat seperti dulu. Saya amati dia yang berjalan mendekati kami (Kerumunan yang sedang duduk-duduk di luar). Tak kusangka, dengan sekonyong-konyongnya dia mendampratkan ransel besarnya pada punggung ayahku. Ayah sedikit terjerembap ke tanah.

“Sudah acuh ko dengan kitorang punya mace?!” Tangan Ibu Maria tegang dan gemetar menunjuk-nunjuk langit yang penuh dengan asap hitam.

Kamorang tra bisa lihat? Dunia penuh asap sudah!” Tambahnya; melototi semua orang. Siapa sangka, orang yang telah lama pergi tiba-tiba datang dengan kemarahan. Semua orang keheranan. Kulihat air mata Ibu Maria berlinangan. Tak ada yang membantah ataupun melawan kata-katanya. Karena memang dia adalah orang yang cukup disegani di kampung kami. Ibu Fielda (ibu saya) datang menghampirinya, memeluknya, lalu menggiringnya masuk ke rumah dengan susah payah; seperti menenangkan bocah yang menangis saat mainannya hilang.

Ayah mengusap wajah. Sayup-sayup orang-orang mulai membicarakan para perompak itu lagi. Kemarahan dari Ibu Maria tadi seolah-olah membangunkan kami dari tidur yang panjang. Kebakaran hutan seperti yang terjadi sore ini memang sudah bukan hal tabu bagi kami. Dan kami seakan telah pasrah menghadapinya.

Kebakaran itu pasti bagian dari ulah mereka. Mereka memilih membakar karena itu adalah jalur paling murah untuk pembukaan lahan. Dan hal itu sudah mereka lakukan berkali-kali. Salah satu warga kami pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri; Orang-orang itu menyirami hutan dengan solar, kemudian mereka bakar dengan obor, lalu lari. Orang-orang itu adalah mereka, ya mereka. Mereka yang juga pernah datang ke rumah saya, mengiming-ngimingi omong kosong pada ayah.

Sudah empat tahun berlalu, satupun janji yang pernah mereka ucapkan itu tak ada yang ditepati. Kasihan ayah, dia sering menangis pada Tuhan, dia menyesali kelalaiannya empat tahun lalu. Dia merasa berdosa karena telah dibodohi. Ayah tak bisa menuntut janji-janji itu, karena janji-janji itu hanya berupa ucapan, tak tercantum di atas kertas yang pernah ditandatangani. Dan ucapan tanpa ada alat perekam, takkan pernah bisa digenggam dan dijadikan barang bukti.

***

Pagi-pagi sekali saya bergegas mengunjungi hutan mace. Semalam saya ketiduran karena terlalu sedih dan lelah. Saya berjalan kaki sendirian. Pertama-tama masuk, saya seakan sedang melepas rindu dengannya. Pepohonan sagu, cemara, dan jati yang rimbun. Monyet dan tupai yang bergelantungan, juga kicau-kicauan burung yang begitu merdu di telinga; seperti burung namdur, astrapia arfak, mambruk ubiat, perling, hingga cendrawasih. Ah.. mace betapa masih jelitanya dirimu.

Euforia menjelajahi hutan mace membuatku tak merasa lelah sedikitpun. Saking asiknya, sampai-sampai tak terasa matahari telah memanjati langit Boven Digoel. Seperti halnya manusia, banyak dari burung-burung yang cantik dan tampan itu mulai berhenti berkicau. Mereka bekerja, mencari makan untuk anak-anaknya yang tengah menunggu di sarang. Mengamati kecantikan hutan mace itu membuat saya senang dan terharu bukan kepalang. Namun perasaan itu berubah begitu saja tatkala melihat ada bagian wajah hutan mace yang begitu kontras dengan kecantikannya.

Jadi ini penderitaan yang kemarin sore mace alami. Limbung hati dan juga tubuh saya. Lutut saya jatuh memeluk tanah. Terhampar di depan saya jutaan abu dan pohon-pohon yang telah menjadi arang. Besi-besi berukuran raksasa hilir mudik  seperti menyapu abu, arang, dan ranting kayu yang masih tersisa. Tak kuasa saya melihat belahan kecantikan mace yang telah hancur. Tak kuasa saya membendung air mata.

Siapa?! Siapa dalang dari penganiyayaan hutan mace ini?! Sakit hati saya. Kemana saya punya roh leluhur nenek-moyang. Saya raih sebuah ranting yang masih bisa saya genggam dan menghampiri orang-orang tai yang ada di dalam besi-besi raksasa itu.

“Mana?! Mana bos kalian punya!? Bawa sini, biar sa hajar dia!”

Saya teriaki mereka berkali-kali namun mereka seperti orang tuli. Karena kesal, saya lempari mereka dengan ranting dan bebatuan kecil yang terserak di sekitar saya. Saya terus melempari mereka dengan dada yang sesak karena tangis. Tak lama kemudian datang orang-orang berseragam polisi. Mereka menahan tangan saya, mendorong-dorong saya, dan mengusir saya sambil mengancam-ngancam akan menjebloskan saya ke penjara. Sudah sebobrok inikah dunia; sampai mencoba melawan penjahat justru dianggap penjahat.

Saya sudah tidak tahu lagi seberapa compang-camping hati saya. Maafkan saya mace, karena telah meninggalkanmu selama empat tahun hanya karena uang. Maafkan saya mace, karena tak bisa membelamu saat engkau disiksa. Maafkan saya mace, maafkan saya leluhur! Hari sudah malam. Penyesalan yang menusuk-nusuk hati tak mau berhenti. Air mata terus mengucur dengan sendirinya. Saya pulang dengan langkah gontang.

***

Malam harinya saya tidak bisa tidur. Saya bangkit dari kasur dan keluar dari rumah untuk melihat kerlip bintang-bintang. Namun, sayup-sayup saya mendengar suara isak tangis seseorang. Ternyata diujung halaman kampung, di atas bebatuan besar, ada Ibu Maria yang sedang menangis tersedu-sedu. Telapak tangannya tertangkup pada wajah. Mungkin karena sangat dalam dia menangis, bahunya sampai bergetar-getar. Di sisi lain pendengaran saya, nun di ujung sana, di atas punggung Gunung Arang. Ada sekawanan anjing bernyanyi papua yang melolong-lolong nyaring dan panjang. Satwa yang dianggap sudah punah itu, seolah-olah turut mengiringi kesedihan yang dirasakan oleh Ibu maria dan Alam Papua.

___

Mace: Ibu

Sa: Saya

Kamorang: Kalian

Kitorang: Kita

Ko: Kamu

Tra: Tidak

Yogyakarta, 2021

 

Muhammad Raihan Najmi

Lahir di Yogyakarta, 15 Agustus 2000. Sedang bersekolah di Alam Raya. Aktif di Sanggar Cokrojayan, Sanggar Pamong, dan Komunitas Literasi Baitul Kilmah Yogyakarta.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *