Masih dalam keadaan terbaring beralaskan kasur, Aku menghela napas dan mencoba melepas keluh hari ini. Kantuk mulai kurasakan. Semakin mendalam hingga lelap terbawa arus pikiran, terselip dan terbayang, Aku mengira Tuhan sedang menaruh rasa padaku, sampai-sampai beberapa orang dengan segala kecocokan kriteria yang telah kuambil hatinya tidak ada yang mengindahkanku. Sebenarnya pernah ada satu orang yang berani menaruh perhatian padaku, namun saat pesona aku tampakan mimik wajah mulai berubah.

Aku masih memikirkan perihal itu, merubah posisi tubuh semula berbaring berganti bersandar pada dinding kamar. Mencoba menemukan titik temu, mungkinkah benar Tuhan sedang jatuh cinta padaku sehingga orang lain tidak boleh memilikiku, ataukah pesonaku yang sangat tidak membuat orang berselera. Secara nalar jika karena Tuhan, memang benar. Orang seperti apa yang berani bersaing dengan pemilik alam seisinya. Apalagi soal pesona sangat tidak mungkin. Aku menguasai beberapa hal yang tidak dikuasai orang lain.

Termenung, memandangi seisi kamar. Bola mata merekam setiap titik yang dirasa aneh di hadapan. Genting berlumut, dinding bercelah, pakaian tergantung rapi di atas tali dan juga jendela berkaca gelap tak terlewatkan. Kini pandanganku beralih pada sebuah cermin yang terpajang di sebelah jendela kamar. Tidak seperti pandangan sebelumnya, sejenak memandang kemudian teralihkan. Cermin itu tampak menawan untuk terus dipandang. Cermin yang antik, berbentuk lonjong dengan balutan ukiran kayu khas Jepara terus menarik perhatianku. Seolah menginginkanku untuk mengelusnya. Perlahan aku membangkitkan payah tubuh untuk menghampiri cermin antik itu.

Tepat di hadapan cermin terpantulkan wajah diriku. Rasa risih menceletuk dari hatiku ketika tahu wajahku yang sedang payah. Bibir-bibir kutarik melebar mencoba tersenyum, akan tetapi cermin tetap memantulkan wajahku yang murung. Bergegas jemari mengusap kaca pada cermin memastikan apa yang sedang terjadi. Debu yang menempel pada kaca mulai rontok dari porosnya, namun wajah yang ada pada cermin tetap saja sama.

Aku menjadi bingung tidak karuhan. Pikiran mistis menyelinap bergantian, merusak mentalku. Kini aku hanya bisa menutup mata. Terbayang ketakutan yang menggetarkan hati saat tahu wajah diriku di cermin.

Cermin itu memang antik. Menurut pemilik kamar, cermin itu kalau dijual memiliki nilai rupiah yang tinggi dibandingkan cermin biasa. Polesan cat kayu menyelimuti lekuk motif ukir menjadikan cermin terlihat masih mengkilau. Sekilas memang estetik, namun entah kenapa saat memandang wajah sendiri pada cermin itu, rasanya malah menjadi takut.

Ketakutan terus menjadikan tubuhku mematung. Aku coba membuka kembali mataku. Sesosok yang sama masih tercerminkan di hadapanku. Mataku mulai menatap mata yang sama. Aku lihat raut muka mulai sama dengan raut mukaku. Aku yakin itu adalah diriku. Satu tegukan ludah seketika aku lakukan tanpa sengaja_sedikit lega.

Tubuhku mulai merasakan adanya keringat saat kaki beranjak menjauhi cermin antik itu. Dua langkah hampir mendekati kasur, tiba-tiba cermin antik itu tertawa berbahak-bahak. Sontak aku kaget dan terjembab pada kasur lantai di hadapanku. Kuraih selimut untuk menutupi pandanganku.

“Siapa kamu?”. Sontak aku berteriak di balik selimut. mataku masih tertutup, keringat bercucuran.

“Aku adalah roh yang terpantulkan cermin di kamarmu”. Jawaban kerasnya memekakkan telingaku.

Aku sedikit membuka celah selimut untuk memastikan sesosok yang mengatas namakan roh cermin. Bak dihampiri malaikat maut aku merintih ketakutan. Sesosok yang persis denganku sedang melangkah menghampiriku. Sambari berceloteh mengaku-ngaku “Aku tahu yang sedang kau pikirkan saat ini wahai Mukhlis, karena aku adalah rohmu”.

Sampai tepat di samping kasurku, hanya berjarak sejengkal. Roh cermin secara cepat menarik selimut yang membungkus diriku. Dengan seketika membangunkan secara paksa. Aku yang dalam keadaan payah tak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah dalam keadaan berdiri dihadapannya, tampak roh cermin mulai membuka mulut membahas tentang Zainal. Asing bagiku untuk mengenali siapa Zainal, tapi roh cermin tetap kukuh menceritakan Zainal padaku.

“Apakah kamu mengenal Zainal yang dulu menempati kamar ini?”.

Aku hanya bisa diam membisu.

Zainal adalah pemuda yang hampir sama seperti Mukhlis, perantauan. Sosok anak muda lulusan SMK yang bisa dikatakan ulet dalam bekerja. Perawakannya tinggi kekar dengan balutan warna sawo matang pada kulitnya. Dalam hal keterampilan mungkin anak itu sangatlah mumpuni, nyatanya setiap hendak pergi bekerja Zainal menyempatkan bercermin mebenahkan kancing seragam kantornya sambari merapikan gaya rambutnya. Roh cermin selalu mengamati baju seragamnya dan terpampang kalimat SPBU. Walaupun sekedar tahu lewat penampilanya. Pesonanya cukup meyakinkan.

Setiap pulang kerja, roh cermin dihampiri oleh Zainal. Walaupun Zainal tidak tahu. Roh cermin merekam setiap lontaran senyum tipis yang menutupi kepenatan selama berkerja. Hampir setiap hari senyum didapati roh cermin setiap pulang kerja. Dan itu cukup membuat kelegaan tersediri. Sayangnya senyum itu tidak bertahan lama. Suatu ketika Zainal menatap dengan raut muka yang layu. Roh cermin menyaksisakan kegelisahannya, ketika Zainal mencoba menelpon keluarganya di rumah. Akan tetapi tanpa disangka-sangka beban semakin memecah belah pikirannya. Keharmonisan ayah dan ibunya mulai diringkus angin. Angin sumilir penuh kesejukan menghanyutkan ayah Zainal hingga terhempas pada perempuan lain. Tangis pilu semakin memecah hening kamar kos milik ibu Supartini. Zainal yang hendak menceritakan berita dipecat kerja dengan tuduhan pencurian uang SPBU, terdahului duka perpecahan hubungan kekeluargaan antara ibu dan ayahnya.

Hari esok, Zainal mulai bercermin dengan tampilan yang berbeda, memakai kemeja putih lengkap dengan celananya. Tangannya mengenggang erat map berisikan berkas formulir untuk mendaftar kerja. Sebuah media yang tak terbatas tembok ataupun jeruji penjara, informasi terkait pencuriannya telah menyebar tercecer di mana-mana. Dua sampai tiga proses wawancara diakhiri kata ”Maaf Mas, saya tidak bisa menerima karena latar belakang mas yang membahayakan perusahaan kami”.

Keadaan Zainal hampir sama seperti Mukhlis. Berjalan gontai tanpa semangat memasuki kamar, merebahkan tubuhnya sejenak di kasur yang mukhlis baringi. Namun nahas, Zainal terkalahkan batinnya. Seutas tali yang dijadikan tempat menggantungkan pakaian diubah menjadi simpul yang berbentuk lingkaran. Sebelum menalikan pada tiang kamar, Zainal mencoba memasukan simpul tersebut ke leherya. Disertai tangisan yang terus-menerus menjatuhkan diri. Zainal mulai mengikatkan tali tersebut pada tiang kamar. Beralaskan kursi plastik Ia menjangkau tiang di atasnya. Seketika saat tali diikatkan pada tiang, mulut Zainal menyampaikan maaf pada ibunya. Dan akhirnya Zainal memilih mati.

“Apakah kamu juga ingin berakhir mati sama seperti Zainal?”. Roh cermin mengahiri cerita dengan pertanyaan tegas padaku.

Tubuhku dirundung gemetar, rasa takut terus membentur jiwaku. Semakin pilu saat mendengar bahwa kamar ini pernah dijadikan tempat gantung diri, yang mana tanpa sekilas disampaikan ibu Supartini saat pertama kesini. Aku hanya bisa terdiam mendengarkan runtutan cerita dari roh cermin.

Dan sekilas roh cermin mengungkit soal pesona yang menggelisahkanku. Memperjelas padaku, bahwasanya pesona yang dimaksud adalah rasa kurang percaya diri. Roh cermin melarang untuk membanggakan keahlihan dan keterampilanmu dengan bukti selembar sertifikat. Menurutnya saat kerpercayaan dirimu lemah keahlianmu akan hilang sasaat ketika diuji seseorang. Begitu juga bukan karena Tuhan yang kau jadikan alasan bahwa Tuhan terlalu sayang padamu sehingga orang lain takut melirikmu. Jika tuhan sayang padamu mungkin engkau sudah menjumpai Zainal di sana.

Aku yang masih terdiam dengan mata tertutup, tiba-tiba suara roh cermin mendesir tajam di telingaku. Roh cermin mengancam memilih untuk tersadar dengan kepercayaan diri yang kuat atau mati dalam keadaan menggantung sama seperti Zainal.

Aku hanya bisa menangis sambari momohon untuk tidak menggantungku.

“Aku tidak percaya jika mentalmu menjadi kuat, lebih baik kau mati dalam keadaan tergantung pada seutas tali, dari pada mempunyai kepercayaan diri yang lemah. Itu juga menyusahkanku, menjadi saksi kelemahanmu“. Tegas roh cermin penuh geram mengakhiri ceritanya.

Tanpa aku sadari seutas tali telah melingkar di leher. Sontak aku mencoba melepasnya. Tanganku terus memberontak melepaskan. Namun sedikit-demi sedikit simpul terus menyempit hingga mencekik leher. Rasanya sungguh sakit, detak jantung semakin berdebar. Tali itu terus menarik leherku ke atas, aku merasakan napasku yang kian sesak. Kematian kian mendekatiku. Dan Aku hanya bisa menggerakan mulutku untuk terus memohon pada roh cermin untuk tidak menggantunggu.

***

“Aku janji, Aku ingin tersadar…” jerit mukhlis serasa digantung.

“Mukhlis…, Mukhlis…kamu kenapa?, bangun!”. Sambari menggedor-gedor pintu memastikan keadaan Mukhlis.

Suara ibu Supartini semakin keras, sampai menyelinap masuk pada mimpi Mukhlis. Rintihan Mukhlis saat dijerat tali kian pudar. Mukhlis terbangun dan sesegera memegangi lehernya. Merasa bingung dengan apa yang terjadi, sesekali mencubit kulit untuk memastikan apakah masih hidup atau sudah mati.

Disisi lain ibu Supartini terus memanggil-manggil Mukhlis. Memastikan keadaan mukhlis. Menyadari Mukhlis yang masih hidup, segera menanggapi panggilan dari ibu Supartini.

“Mohon maaf Bu, Mukhlis sedang latihan akting”. Sahut Mukhlis dengan alasannya.

“Memang anak muda saat ini menjengkelkan orang tua saja”. Keluh ibu Supartini mendengar jawaban Mukhlis.

Di tengah kepergian ibu Supartini Mukhlis menghampiri cermin antik tersebut, menampangkan wajah percaya diri, Sambari membantin dalam hatinya “Aku yakin bahwa roh cermin adalah diriku, terima kasih telah hadir menyelinap untuk membenahi jiwaku”.

 

 

Tentang penulis :

Fahrudin adalah mahasiswa UNY. Kerap mengikuti kegiatan literasi di Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta. Semenjak kecil bercita-cita menjadi tempe berkualitas. Biasa dihubungi melalui email : fahrudiin703@gmail.com.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *