Oleh Aguk Irawan MN.

“Wa lā tangkiḥụ mā nakaḥa ābā`ukum minan-nisā`i illā mā qad salaf;dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau sekali.(QS. An-Nisa Ayat 22).

Apa makna nikah pada ayat diatas? Apakah yang dimaskud nikah itu akad atau hubungan seksual? Apakah nikah di atas itu bermaksud telah terjadi akad dan telah menggauli, atau menggauli bebas, tanpa akad dan berzina? Pertanyaan ini masih bisa terus dikembangkan, sehingga lahirlah perbedaan hukum diantara ulama.

Pertanyaannya, kenapa itu bisa terjadi? Menurut Prof. M Quraish Shihab dalam bukunya “Satu Firman Beragam Penafsiran”, karena al-Quran memang membuka peluang adanya perbedaan. Pertanyaan berikutnya, mengapa Allah membuka peluang itu? Karena, antara lain al-Quran merupakan salah satu  rahmat Allah yang menghidangkan aneka hidangan untuk dipilih manusia sesuai dengan kecenderungan serta sejalan dengan perkembangan sosial budayanya,” tegasnya.

Contoh yang demikian amat banyak pada ayat-ayat al-Quran, tidak hanya terkait dengan hukum-hukum (syariat), tetapi juga aqidah, seperti “yadullah”, apakah disana tangan? Atau kekuasaan? Menurut Prof Quraish Shihab itu dapat menimbulkan sengketa bila masing-masing enggan bertoleransi.

Tetapi keistimewaan al-Qur’an menurut Ulama besar Mesir Syekh Abdullah Darraz dalam kitabnya “An-Naba Al-Azhim,” salah satunya, jutsru terletak pada keaneka ragaman makna ini, “Apabila Anda membaca al-Quran, dan membandingkan tiap makna dari mufasir, Anda akan menemukan perbedaan disana.” Katanya dalam karya itu.

“Ayat-ayat Alquran bagaikan berlian setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan cahaya yang terpancar dari sudut lainnya, dan tidak mustahil jika Anda mempersilakan orang lain memandangnya, dia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang Anda lihat.” Lanjut Syaikh Darraz. Jadi adakah berlian yang tak menampakkan kilau warna- warni?

Demikian itu, jauh hari juga sudah disinggung oleh Sayyidina Ali Ra, bahwa setiap kata dalam al-Quran punya makna yang berlapis, dan mungkin itu salah satu sebabnya, al-Quran akan terus sesuai dengan  zaman dan tempat— dengan kalimat yang bersahaja, tulis An-Nawawi dalam  kitabnya Tahdzibul Asma wal Lughat.

Menurutnya, setidaknya tiap kata dari al-Quran bisa ditinjau dari berbagai segi, diantaranya makna teks-gramatikalnya (haqiqiyah), makna konteksnya (waqiiyah), turunannya (amstaliyah) makna perumpamaannya (mazajiyah) dan makna pergeserannya (naqliyah). Lalu bagaimana jika kata itu sudah tersusun menjadi sebuah kalimat?

Maka, kitab “Mabahis fi Ma’ani al-Qur’an”, karya Gus Awis (KH. Muhamad Afifuddin Dimyati), setebal 354 halaman yang baru saja terbit di Mesir ini berusaha menjawab pertanyaan itu. Secara umum kitab ini membahas beberapa sub tema ulumul Qur’an yang membahas makna Al Qur’an. Diantaranya persinggungan makna dengan grammer (i’rob), Musykil, al- Wujuuh wa anNadhair dan Asaalib alArabiyyah.

Penggunaan kata yang sama tetapi dengan i’rab yang berbeda ini berdampak pada makna yang dimaksud, karena itu, kitab tersebut menyajikan pentingnya memahami i’rob dalam menentukan makna kata dan kalimat sesuai kedudukannya dalam al-Qur’an, aturan umum dalam i’rob al-Qur’an, dan beberapa contoh i’rob yang ada dalam beberapa kitab I’rob alQur’an yang masyhur. (hal 31-58).

Kitab tersebut juga membahas pentingnya mengkaji musykil al-Qur’an dalam menghilangkan problem pemaknaan kata dan kalimat yang terkadang muncul dalam benak pembaca, beberapa sebab terjadinya isykal makna al- Qur’an dan cara menyelaraskan maknanya. (hal 83-109,

Ketika membahas Al Wujuuh wa An Nadhair fil Qur’an (hal 132-150), Kitab ini juga menjelaskan pentingnya mengetahui lafadh-lafadh al- Qur’an yang sama dan bermakna berbeda pada berbagai ayat, serta beberapa contoh lafadh Al Qur’an yang bermakna berbeda-beda seperti al -Kufr, as-Sholat, al-Jihad, al-Waliyy, al-Fitnah dll.

Demikian, ketika membahas Asaalib al-Arabiyyah fi al-Qur’an (hal 245- 315), kitab ini menyajikan karakteristik dan keindahan uslub al- Qur’an, dan secara sepesifik mengkaji keindahan uslub al-Hadzf, at- Tikror, at-Taqdim wa-Atta’khir, al-I’tirodh, al-Iltifaat dan al- Ihtiros, disertai contoh keindahan masing-masing penggunaannya dalam ayat-ayat al-Qur’an.

Memahami kata al-Quran dalam berbagai sudut menjadi penting, terutama dalam sudut kosa-kata dan kebahasaan, karena nyatanya al-Quran, selain turun sedikit demi sedikit selama 22 tahun lebih, juga sudah berjarak dengan kita lebih dari 14 abad yang lalu. Jadi membaca kitab ini, secara otomatis kita akan dipandu memahami makna ayat-ayat yang telah berinteraksi dengan budaya dan perkembangan masyarakat tertentu. Kendati demikian, nilai-nilai yang diamanahkannya dapat diterapkan pada setiap situasi dan kondisi.

Untuk itu mufasir dan pentakwil atau pengkaji al-Quran dituntut untuk menjelaskan makna dan nilai-nilai itu, agar sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Sehingga al-Quran benar-benar berfungsi sebagai petunjuk, pemisah antara yang haq dengan batil, serta jalan keluar bagi setiap problema kehidupan yang dihadapi. Maka tak berlebihan, jika kitab ini seyogyanya dibaca oleh siapapun, terutama yang ingin mendalami ilmu al-Quran. Wallahu’lan bishwab.

*Khodim Baitul KIlmah Bantul.

Bantul, Ramadhan 18 April 2022.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *