
Oleh: Ali Adhim*
“Khittah IPNU diharapkan hanya mengurusi dunia pelajar. Tidak usah ngurus yang lain. Tidak usah ada komisariat di kampus karena membuat IPNU tidak hadir di sekolah terutama sekolah-sekolah umum yang menjadi tugas dan fungsi pokok IPNU,” itulah salah satu pesan yang disampaikan H Nusron Wahid dalam agenda Debat Kandidat Calon Ketua Umum IPNU di Lantai 5 Gedung PBNU pada Kamis (14/4/2022) malam.
Sementara sahabat saya Febi Akbar Rizqi, seorang aktivis PW IPNU Jawa Timur beberapa bulan yang lalu meluncurkan bukunya berjudul “Urgensi Kehadiran IPNU-IPPNU di Kampus”, hal ini tentu saja menjadi perbincangan hangat dan menarik untuk dikaji lebih mendalam bagi rekan-rekanita IPNU-IPPNU di berbagai daerah.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Nusron Wahid saat sambutan di agenda Debat Kandidat Calon Ketua Umum itu juga menyampaikan garis besar pokok kebijakan PBNU tentang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Kebijakan itu adalah ingin mengembalikan IPNU kepada khittahnya, yakni fokus pada dunia pelajar.
Sejauh apa sepak terjang perjalanan ‘aktivitas’ IPNU dalam kaca mata PBNU, hingga IPNU ingin dikembalikan ke Khittahnya?. Tercatat di Laman Resmi ipnu.or.id bahwa sejarah munculnya organisasi IPNU-IPPNU bermula dari adanya jam‘iyah yang bersifat lokal atau kedaerahan. Wadah tersebut berupa kumpulan pelajar dan pesantren yang dikelola dan diasuh para ulama. Jamiyah atau perkumpulan tersebut tumbuh di berbagai daerah hampir di seluruh Wilayah Indonesia.
Aspek-sapek yang melatarbelakangi IPNU-IPPNU berdiri diantaranya adalah: (1) Aspek Idiologis. Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama Islam dan berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jamaah sehingga untuk melesrtarikan faham tersebut diperlukan kader-kader penerus yang nantinya mampu mengkoordinir, mengamalkan dan mempertahankan faham tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta beragama.
Berikutnya adalah (2) Aspek Paedagogis. Adanya keinginan untuk menjembatani kesenjangan antara pelajar dan mahasiswa di lembaga pendidikan umum dan pelajar di pondok pesantren. Selanjutnya (3) Aspek Sosiologi. Adanya persaman tujuan, kesadaran dan keihlasan akan pentingnya suatu wadah pembinaan bagi generassi penerus para Ulama dan penerus perjuangan bangsa.
Dalam catatan sejarah, gagasan untuk menyatukan langkah dan nama perkumpulan atau organisasi tersebut diusulkan dalam muktamar Ma‘arif pada tanggal 24 Februari 1954 M di Semarang. Usulan ini dipelopori oleh pelajar-pelajar dari Yogyakarta, Solo dan Semarang yang diwakili oleh Sofwan Cholil Mustahal, Abdul Ghoni, Farida Ahmad, Maskup dan M. Tolchah Mansyur. Muktamar tidak menolak atas inisiatif serta usulan tersebut. Dengan suara bulat dan mufakat dilahirkan suatu organisasi yang bernama IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) dengan ketua pertama M Tolchah Mansur, serta pada tanggal itulah ditetapkan sebagai hari lahir IPNU.
Lahirnya IPNU merupakan organisasi termuda dilingkungan NU sebagai langkah awal untuk memasyarakatkan IPNU, maka pada tanggal 29 April –1 Mei 1954 diadakan pertemuan di Surakarta yang dikenal dengan KOLIDA atau Konfrensi Lima Daerah, yang meliputi Yogyakarta, Semarang, Kediri, Surakarta dan Jombang dan menetapkan M. Tolchah Mansur sebagai Pucuk Pimpinan (Sekarang Pimpinan Pusat). Selang satu tahun, tapatnya diarena kongres pertama IPNU didirikan IPPNU (Ikatan Pelajar Putri NU) 3 Maret 1955.
Dalam catatan perjalanan panjang Kongres IPNU, pernah terdapat kebijakan yang membahas tentang Kemahasiswaan dan Kampus. Kebijakan itu ada pada Kongres VIII IPNU yang dilaksanakan pada tanggal 20-24 Agustus 1976 di Jakarta, terpilih sebagai Ketua Umum IPNU Tosari Wijaya, IPPNU Ida Mawadda, kebijakan yang dihasilkan antara lain: (1) Mengamanatkan pendirian departemen kemahasiswaan, (2) Kiprah IPNU di dunia politik mempunyai dampak negatif dan menghambat program pembinaan khususnya di lingkungan sekolah dan kampus serta masyarakat bawah. (3) Meskipun di sisi lain memperoleh keuntungan.
Namun pada Kongres XIII IPNU yang dilaksanakan pada tanggal 23-26 Maret 2000 di Maros Makassar, Sulawesi Selatan, terpilih sebagai Ketua Umum IPNU Abdullah Azwar Anas, ketua IPPNU Umum Ratu Dian, kebijakan yang dihasilkan antara lain: (1) Mengembalikan IPNU pada visi kepelajaran, sebagaimana tujuan awal pendiriannya, (2) Menumbuh kembangkan IPNU pada basis perjuangan, yaitu sekolah dan pondok pesantren, (3) Mengembalikan CBP sebagai kelompok kedisplinan, kepanduan serta kepencinta-alaman.
Melihat silsilah IPNU di atas, tepatkah redaksi jika PBNU ingin mengembalikan IPNU kepada khittahnya?, sementara Aspek Paedagogis pendirian IPNU sendiri adalah adanya keinginan untuk menjembatani kesenjangan antara pelajar dan mahasiswa di lembaga pendidikan umum dan pelajar di pondok pesantren.
Sebagaimana dikemukakan oleh H Nusron Wahid di Laman NU Online, IPNU dinilai menjadi garda terdepan yang paling awal menyukseskan tiga kebangkitan yang dicanangkan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf yaitu kebangkitan intelektual, kebangkitan teknokrasi, dan kewirausahaan. Tiga kebangkitan tersebut dimunculkan dari pelajar.
Lebih lanjut H Nusron mengungkap bahwa di dunia sekolah saat ini telah terjadi ruang kosong dan menjadikan organisasi seperti Kerohanian Islam (Rohis) menjadi pemain tunggal. Hal tersebut karena IPNU bersama gerakan pelajar yang lain seperti Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) hampir tidak masuk di sekolah-sekolah umum. H Nusron menyebut saat ini jarang sekali ditemukan komisariat-komisariat IPNU yang non-Ma’arif. Maka menurut H Nusron ini yang harus digalakkan karena itulah pesan dan garis besarnya PBNU.
H Nusron Wahid Menegaskan Jika IPNU masih enggan mengurusi atau tidak fokus pada pelajar, maka PBNU akan membuat unit kesiswaan di bawah Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif. Rencana itu sudah diputuskan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PBNU di Cipasung, pada 24-25 Maret 2022 lalu. Bahkan untuk menggarap siswa-siswa yang berada di sekolah non-Ma’arif, sedangkan IPNU tidak hadir di sana, maka PBNU sudah menugasi Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) untuk membuat Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM).
Pada 14-17 Juli 2022 mendatang, IPNU akan menggelar Kongres XX di Nusa Tenggara Barat. Siapapun yang terpilih menjadi Ketua Umum IPNU-IPPNU masa khidmah 2022-2025 semoga mampu membawa IPNU-IPPNU lebih baik, turut serta mensukseskan misi-misi mulia PBNU, dan bisa membumikan NU di Sekolah-sekolah Umum maupun sekolah unggulan tanpa kehilangan spirit awal berdirinya IPNU-IPPNU itu sendiri.
Tapi, ada benarnya juga PBNU menekankan agar IPNU-IPPNU lebih Fokus ke Pelajar, mengingat berdasarkan data yang dirilis Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai radikalisme pada tahun 2018 lalu, ada sebanyak 57,03% guru baik pada level SD dan SMP yang memiliki pandangan intoleran di Indonesia. Hal itu senada dengan data yang dirilis Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), data itu menyebutkan 48,9% siswa mendukung adanya tindakan radikal.
Sangat mencemaskan bila sekolah-sekolah di Indonesia menjadi lahan tumbuh suburnya paham ekstremisme. Survei terkini yang dirilis oleh beberapa lembaga seperti Wahid Institute, Pusat Pengkajian Islam Masyarakat (PPIM) dan Setara Institute mengindikasikan terjadinya penyebaran ajaran intoleransi dan paham radikalisme di lembaga pendidikan di Indonesia.
Survei toleransi pelajar Indonesia yang dilakukan oleh Setara Institute pada 2016 menyimpulkan bahwa 35,7% siswa memiliki paham intoleran yang baru dalam tataran pemikiran, 2,4% persen sudah menunjukkan sikap intoleran dalam tindakan dan perkataan dan 0,3% berpotensi menjadi teroris. Survei ini dilakukan atas 760 responden yang sedang menempuh pendidikan SMA Negeri di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat. Survei dari Wahid Institute dan PPIM juga menunjukkan kecenderungan serupa yang mengkhawatirkan.
Tak dapat dipungkiri Radikalisme dan intoleransi masih menjadi ancaman nyata bangsa Indonesia. Penyebarannya paham anti Pancasila tersebut dianggap sudah masuk ke lingkungan Pendidikan sehingga mengancam tumbuh kembang generasi muda.
Eksistensi IPNU-IPPNU bagi pelajar di Sekolah-sekolah sangat penting, dalam rangka untuk menyapu bersih bibit-bibit dan akar gerakan radikalisme dan intoleran yang ada di sekolah, dan membumikan paham serta ajaran Islam Moderat, Islam Toleran, Islam Santun, ala Nahdlatul Ulama di sekolah. Syukur-syukur IPNU-IPPNU bisa membuat lembaga bimbingan belajar masuk perguruan tinggi untuk pelajar/santri NU, atau advokasi Kartu Indonesia Pintar (KIP) SD hinggan kuliah untuk kader-kader NU sebagaimana harapan PBNU dan kita bersama. Wallahu a’lam
Ali Adhim, Kepala Sekolah SMK Peradaban Desa Baitul Kilmah
Pajangan, Malam 17 Ramadan, 19 April 2022