Pohon mangga gemeretak. Siur angin dari barat menerpa pohon-pohon di pekarangan rumah Mak Warsih. Dini hari, ia terbangun. Dadanya terasa panas dan berdetak tak beraturan. Memejamkan mata sekilas— melafalkan istighfar. Ia berdiri dari ranjang, berjalan menuju jendela, membuka pelan—berderit.

Ia melihat angin ribut di luar sana, tempat di pukul 2 dini hari. Perasaannya menjadi was-was tak menentu. Secara tiba-tiba jam dinding jatuh menimpa gelas di samping ranjang berisi air putih untuk diminumnya setelah bangun tidur. Gelas pecah, air mengalir dari meja. Jam dinding tergeletak di tanah.

Mak Warsih semakin tak tenang, “Firasat apa ini Ya Allah?” gumamnya. Ia beranjak dari kamar menuju jamban untuk kencing dan berwudhu. Seketika dingin mencecap kulitnya. Setelah berwudhu, ia menggelar sajadah biru kusam bermotif Masjid Nabawi. Ia mulai mengenakan mukena. Ia mulai menghadap kiblat di atas ranjang. Setiap gerakannya membuat ranjang berderit— kriieet. Dalam sholatnya ada ketundukan dan kepasrahan, seolah-olah Tuhan ada di depannya. Dari ruku’ ke ruku’ dari sujud ke sujud, ia menyempurnakan.

Ya Allah Ya Rahman, Ya Rahim, Engkaulah sumber dari segala kebaikan. Jika ini adalah pertanda musibah, maka kuatkanlah hambamu ini. Ya Malik, Ya Kudus,  Ya Salam, Engkaulah yang memiliki kekuasaan mutlak, berikanlah hamba dan keluarga hamba keselamatan,” doa lirih Mak Warsih ditutup dengan sholawat. Berselang beberapa waktu, suara adzan subuh menggema dari surau yang terletak tepat di depan rumahnya.

***

Sore yang tanggung itu, puluhan warga digiring oleh beberapa kelompok berikat kepala merah bersenjata laras panjang ke sebuah padang rumput di perbatasan desa. Temasuk Mbah Marto dan Yai Salim. Selain itu, Lik Karman, Lik Sunaji juga ikut dalam rombongan itu. Sekelompok bersenjata itu beberapa kali mengelepaskan peluru ke udara. Mengacung-acungkan senjata ke arah mereka. Mereka berjalan melewati perbukitan berkapur. Lumayan jauh dari Desa Soco.

Terlihat Mbah Marto kelelahan. Keringatnya membasahi kening dan lehernya. Sementara, Yai Salim, dalam perjalanan menuju tempat itu, tak henti-hentinya ia memutar tasbih. Udara masih terik. Ramadhan kali ini, sengguh menyiksa.

Lik Karman telanjang dada. Tubuhnya bercampur keringat dan terik matahari. Ia sudah tidak bisa menahan amarahnya. Berusaha untuk berani. Lik Sunaji tak tinggal diam. Dua orang gagah berani itu beradu mulut dengan orang-orang bersenjata itu. Sebagian warga ragu-ragu antara melawan atau tetap menjadi tawanan.

Mbah Marto mencoba untuk menenangkan mereka, tetapi mereka bedua tetap mencoba melawan. Beberapa warga mendukung sikap Lik Karman dan Lik Sunaji. Sebagian tak punya nyali dan berusaha diam. Salah satu dari orang bersenjata itu melepaskan tembakan ke udara sebagai peringatan.

“Sekali lagi melangkah, kepala kalian akan tersembus timah panas,” ancam salah satu lelaki bersenjata itu.

“Tertembak atau tidak kita akan mati. Bukankah kami digiring untuk kematian kami. Sebelum kami kalian bunuh, kami akan berjuang sampai titik darah penghabisan,” tukas Lik Karman. Mereka mengumandangkan takbir— Dorrr. Peluruh melesat dengan kecepatan angin. Lik Karman rebah. Kepalanya berlubang. Peluru menembus batok kepala— menebus jaringan-jaringan otaknya. Darah mengucur di dahinya. Semua warga melongo, tampak ragu bercampur rasa takut.

Innalillahiroji’un.” Sementara Yai Salim tampak menatap nanar atas peristiwa itu. Yai Sepuh itu mendekati mayat Lik Karman, lalu memejamkan matanya.

Setelah sampai padang rumput, berbatasan desa, mereka berkumpul. Di tempat ini, ada tiga sumur mematikan. Ada banyak ular berbisa dan kalajengking di dasar sumur. Orang-orang besenjata itu kemudian membariskan warga.

Warga sudah putus harapan. Tidak ada jalan lain, kecuali melawan. Seruan takbir membahana. Burung-burung pipit di pohon ketapang beramburan. Orang-orang bersenjata itu agak panik. Warga berusaha menjergap tanpa senjata. Dorrr,,,, dorrr,,,, dorrr. Puluhan  peluru meluncur menembus kening, dada, lambung penduduk desa. Sore menjelang tenggelamnya senja, menjadi sore yang penuh darah. Orang-orang itu memasukkan mayat-mayat penduduk desa ke dalam sumur, termasuk mayat Yai Salim.

Malamnya, beberapa orang bengis itu datang kembali ke desa. Desa sepi, hanya ada gelap. Tak ada cahaya sedikit pun. Orang-orang menunju surau tua yang biasanya digunakan Yai Salim melakukan ritual peribadatan dengan warga. Mereka bergegas menuju surau, membawa dua jerigen berukuran tanggung disiramkan ke dinding-dinding kayu, geladak, serambi. Terdapat beberapa kitab suci juga tak luput dari penyiraman. Bilik tempat imaman juga tersiram.

Salah satu dari mereka melemparkan korek api. Seketika surau itu terbakar hebat. Asap tebal menggulung-gulung. Cahaya kemerahan-merahan menyala-nyala tanpa ampun. Kemeretak api melahap surau dengan sangat mudah. Tiang penyangga atap satu persatu roboh. Warga sebagian keluar dari rumah, melihat pembakaran surau. Api cepat menjalar di bagian-bagian bangunan surau. Mak Warsih melihat dari jendela rumah. Tatapan nanar terbungkus air dari pelupuk mata.

Setelah orang-orang bersenjata itu membawa sebagian penduduk desa, para keluarga yang ditinggalkan amat cemas. Tak ada kabar. Selama itu pula,  Mak Warsih selalu menunggu suaminya datang ke rumah. Demikian pula dengan istri-istri dan anak-anak yang selalu menanti kedatangan mereka. Meski kini Mak Warsih tidak sendirian di rumah, karena tiga hari yang lalu anak perempuannya yang paling sulung datang ke rumah.

Setiap kali berbuka puasa, Mak Warsih tak pernah lupa menyiapkan makanan untuk Yai Salim. Keyakinan Mak Warsih begitu utuh. Ia yakin, jika suaminya akan pulang. Terdengar adzan di radio. Hari-hari, di desa, tak ada suara adzan yang berkumandang.

Hari-hari berlalu tanpa ada kabar. Siang malam warga menunggu kabar. Wak Warsih dan putri melaksanakan sholat terwaih atau sholat lima waktu di rumah.

Setelah selesai sholat malam, terdengar suara gaduh angin menerpa pohon-pohon. Dini hari yang dingin. Jendela terbuka karena dorongan angin. Mak Warsih bangkit dari duduknya di atas ranjang. Berderit. Melepas mukena yang dikenakan. Ia menutup jendela, lalu dikunci dari dalam. Sementara putrinya di dapur memasak untuk sahur. Ada ketukan pintu. Ia berjalan perlahan untuk membuka. Sendal jepitnya berbunyi, ketika berjalan. Meraih gagang pintu. Membuka pintu yang terkunci. Ia membuka pintu dari belakang. Matanya terbelalak,  ketika suaminya ada di depan pintu memunggunginya, lalu berbalik arah ke hadapannya. Mak Warsih melihat Yai Salim seperti mimpi. Tak mampu berkata-kata. Hanya saja Yai Salim berpesan, “Doakanlah keluargamu yang sudah mati.” Hanya itu pesan darinya. Secepat kedipan mata, bayangan Yai Salim menghilang dari pandangan Mak Warsih .*

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *