
Oleh: Aqib Muhammad KH.
Bahasa Arab
Adalah bahasa yang luas. Dalam bahasa lain, Indonesia misalnya, hanya membutuhkan EYD –yang sekarang sudah berubah menjadi PUEBI – untuk bisa menguasainya secara komperehensif. Sedangkan bahasa Arab, ada Nahwu untuk mempelajari harakat akhir kata. Ada Balaghah untuk mempelajari kandungan bahasa, morfologisnya. Ada Mantiq untuk mengetahui logika bahasa. Semua itu komplementer. Artinya, Nahwu melengkapi Balaghah, Balaghah melengkapi Nahwu.
Satu kata yang ada di dalam bahasa Arab, terkadang mempunyai beragam jenis. Nah, disini kita akan membahas kata “cinta” dalam bahasa Arab. Kata “cinta” memiliki beragam bentuk dalam bahasa Arab. Beberapa di antaranya: al-hubb, al-hawa, al-wudd, dan al-‘isyq, yang semuanya memiliki kekhususan masing-masing.
Ibnu Araby
Menjadikannya sebagai tingkatan. Orang yang baru mengenal cinta dan memaknainya sebagai pemuas nafsu, maka cintanya disebut dengan al-hawa. Kata al-hawa diambil dari kata “Hawa an-Najm” yang artinya bintang telah jatuh. Artinya, seseorang yang kasmaran hanya memaknai bintang sebagai keindahan dan melihat eksplisit keelokannya saja.
Dalam artian, seorang pecinta bergantung kepada kekasih dan hanya memusatkan kepadanya saja, tanpa melibatkan Allah Swt di dalamnya. Karena itu, ia disebut dengan kata “jatuh”. Allah Swt. tidak memiliki nama al-hawa. Hawa ada dua macam, yang keduanya adalah bagian dari cinta.
Jika seseorang telah terlepas dari kehendaknya sendiri dan fana dengan sang kekasih, maka cinta itu disebut dengan al-hubb. Al-Hubb adalah perasaan cinta yang sudah terlepas dari sesuatu yang melekat di dalam kekasihnya, atau seorang pecinta yang telah bening dari hawa. Disebut di dalam al-Qur’an: “Walladzina aamanu asyaddu hubban lillah,” Dan orang-orang yang beriman itu lebih mencintai Allah Swt. Hal itu disebabkan oleh ketidakbergantungan seseorang kecuali kepada al-Haq, yaitu Allah Swt. Cintanya hanya disandarkan kepada Allah Swt. semata.
Kemudian jika seorang pecinta telah mendawamkan cintanya dan menyimpannya di dalam hati, maka cintanya disebut dengan al-wudd. Al-Wudd adalah cinta yang tidak ditendensikan kepada apapun dan siapapun kecuali kepada Allah Swt. Allah Swt memiliki nama al-wadud, yang berarti Maha mencintai. Cinta Allah Swt kepada hambanya tidak akan pernah hilang dan lenyap.
Sedangkan al-‘isyq adalah perasaan cinta yang keterlaluan dan berlebihan. Sebagai contoh, perasaan Siti Zulaekha kepada Nabiyullah Yusuf As. Di dalam hadist qudsy, Allah Swt mensifati diri dengan “sangat mencintai”, tetapi Dia tidak disebut dengan nama al-‘Isyq atau al-Asyiq.
Al-‘Isyq
Adalah perasaan yang menyelimuti sang pecinta sehingga memfanakan dirinya sendiri. Kata al-‘isyq diderifasikan dari kata al-isyqoh yang bermakna tumbuhan yang berduri. Maka, wajar saja jika seorang al-Asyiq akan fana terhadap kekasihnya. Seorang pecinta yang telah mencapai maqom al-‘isyq, maka dirinya tidak akan pernah diperhatikan, karena perhatiannya hanya untuk sang kekasih.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa Qays al-Majnun
adalah seorang pecinta Allah Swt, sedangkan Layla adalah hijabnya (penghalangnya). Hal ini disandarkan atas pengakuan Qays kepada Layla ketika bertemu. Qays mengatakan kepada Layla: “Pergilah, karena cintamu membuatku lupa kepadamu.” Qays pun tak mendekati kekasihnya yang berada di dekatnya itu. Ia justru melakukan kebalikan dari lazimnya seorang pecinta. Ia justru berbalik badan dan melangkah menjauhi Layla. Ini menunjukkan bahwa Qays menyadari bahwa Layla adalah hanya sebagai perantara untuk mencintai Tuhan. Just intermediary.
Dari beragam kata di atas, kita boleh saja menggunakan diksi sesuai selera kita masing-masing. Namun, meskipun begitu, setiap diksi itu memiliki efektifitasnya masing-masing. Punya keselarasannya masing-masing. Jadi, kita harus tau terminologinya terlebih dahulu. Kita harus tahu sisi etimologinya terlebih dahulu.
Keberagaman diksi ini berlaku tidak dalam bahasa Arab saja,
tapi dalam semua bahasa. Yang membedakannya dengan bahasa Arab adalah banyaknya sinonim untuk setiap kata. Pemilihan diksi adalah hal yang perlu diperhatikan bagi seorang penulis. Karena sebuah tulisan yang rancau diksinya, akan tidak terlalu menarik untuk dibaca.
Wallahu a’alam bimurodi..