
Oleh: Aqib Muhammad Kh
Saya juga tiada tahu dari mana kata “sat-set wat-wet” berasal atau bermula dipakai. Entah. Malas juga—atau lebih agaknya kurang pekerjaan— kalau saya harus melakukan penelitian kualitatif sumber kata itu. Gabut sekali hidup saya. Tapi kalau boleh jujur, ya memang gabut sekali hidup saya.
Tidak ingin panjang lebar saya menjelaskan kata itu. Hanya sependek yang saya ketahui, ingin saya mempresentasikannya dalam pengimplementasiannya di kehidupan sehari-hari.
Mestinya kalian yang sering buka instagram, facebook, atau wa, tak asing dengan kata “sat-set wat-wet” di memo-memo, atau sering juga kita praktikkan sendiri ketika ngobrol dengan teman tongkrongan kita. Agaknya gak sopan dan etis juga kalau kita menggojlok dosen atau guru kita dengan kata itu. Misalnya, ketika, sebut saja Pak B, menyuruh kita membuat makalah.
“Ayo, Guntur, makalahnya diselesaikan.”
Lalu dengan menunduk dan takdhim benar Guntur menjawab: “Siap, Pak, sat-set wat-wet.”
Tidak etis, bukan, meski praktik pengucapannya diiringi ketakdhiman?
Kadang pula sesuatu, baik pun itu, bila salah dalam meletakkannya, kurang baik, bukan?
Misal, baca bismillah itu kan baik? Lalu ketika mau merokok, sebelum menghisap kita “bismillahirrahmanirrahim“. Kan makruh juga, bukan? Dalam kaidah usul dijelaskan: التابع، تابع sesuatu yang ikut, itu juga ikut (yang diikuti). Jadi hukum membaca “basmalah” ketika melakukan hal makruh juga makruh. (Lihat di Masyail As-Syata: KH. Mas’ud, Kawunganten).
Menyoal kata “sat-set wat-wet” bukan membahas soal makruh, haram, sunah, mubah, dan wajib, tapi soal adab dan esensi sebuah wakadarma: bentuk kebaktian/ketakdhiman seorang murid, santri, kepada gurunya, atau drapsila: sikap seseorang pada orang lain.
Dikatakan oleh sebagian ulama’: اداب الحكمة، افضل من ااحكمة (Adabnya hikmah, itu lebih baik daripada hikmah). Artinya, sebelum mencari hikmah, beradablah. Maka konsep wudhu dalam keadaan telanjang itu makruh, karena, ya dipikir logika saja; masak ketika berwudhu kok telanjang? Yang dicari adalah kesucian, bukan? Makanya makruh.
Sebenarnya jika diluaskan maknanya, boleh jadi pada sebuah pertanyaan: “Dengan orang-orang besar saja kita perlu bersolek, berdandan rapi dan necis —menurut kebanyakan manusia—, apa iya dengan Dzat yang Maha Menciptakan kita tiada seperti itu?” Aku juga masih slengek’an dan urak’an bila beribadah. Maka ya pelan-pelan. اللهم اجعلنا عند صلاتنا خاشعين. امين.
Ini pentingnya akhlak. Gaya bahasa seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain adalah salah satu unsur akhlak paling urgen dan sentra. Maka orang yang menyamakan bahasa dalam membahasai semua orang, masih kurang dirasakan juga oleh banyak orang akhlaknya. Membingungkan bukan gaya bahasaku? Memang. Kusengaja.
Pada contoh Guntur tadi, misalnya, apakah boleh dilakukan? Boleh. Pasti boleh. Toh, yang punya mulut Guntur, bukan? Iya. Tapi apakah pantas? Nah ini, entah. Semua orang punya standardisasi kesopanan dan kesantunan dalam menyikapi orang lain. Ketika di Jawa menilai bahwa misuh itu adalah kemesraan, suku lain tidak, beberapa orang juga kadang temperamental dan langsung mengerut ketika dipisuhi.
Kembali pada kata “sat-set wat-wet”. Saya memandang kata itu sangat evokatif. Kemarin saya selalu menyuarakannya kepada teman saya, Doyok dan Mas Jhon ketika mereka berdua nglomos_(malas: bahasa Indonesia).
Suatu siang hari ketika kami bertiga lapar, aku mengajak mereka berdua makan. Tidak berdiri dengan cekatan, mereka malah merebahkan badan sambil nggloso-nggloso (berguling-guling: bahasa Indonesia).
Saya lalu mengatakan pada mereka: “Ndang ayo, sat-set wat-wet, Lur!!!!”
Mereka berdiri sambil tertawa-tawa. Kami pun berangkat ke warung makan. Ini contoh kecil dari evokatifnya kata itu.
Konsep “sat-set wat-wet” dalam ibadah, justru harus dilakukan oleh setiap orang. Allah SWT. berfirman: وسارعوا الى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السماوات والأرض، اعدت للمتقين (Dan bersegeralah kalian kepada ampunan Allah SWT dan surga, yang luasnya selangit dan bumi, yang mana (telah) disediakan bagi orang-orang yang bertakwa).
Makanya kalau masalah ibadah, sat-sat wat-wetlah. Tapi kalau masalah maksiat, klemar-klemerlah seklemar-klemernya!
24 Ramadhan 1443