
Oleh: Ust. Moch. Dzul Fahmi, S.H.*
Refleksi Alam dan Naluri Manusia
Setiap orang yang terlahir di dunia ini tak mengerti akan ketentuan Sang Penciptanya yang tak bisa diubahnya mengenai empat hal. Keempat hal tersebut adalah kelahiran, jodoh, rezeki dan kematian.
Kelahiran menjadi titik awal bagi terbukanya takdir lainnya bagi setiap menusia. Ketika ruh ditiupkan oleh Sang Pencipta ke dalam jasad suatu embrio yang dikandungnya oleh sang ibu. Maka proses awal kehidupan manusia dimulai.
Mengenai ras, waktu dan tempat ia lahir tak lepas dari pada campur tangan Tuhan dalam membimbing seorang calon manusia. Ada manusia yang terlahir di Indonesia, maka kita menyebutnya sebagai orang Indonesia, begitu pula dengan berkulit hitam (ras Negroid) mungkin secara tidak langsung timbul persepsi bahwa mereka adalah orang Papua atau mungkin orang Afrika. Justru ketika kita menyebut mereka sebagai orang Amerika atau orang Cina mereka menolak dan mengaku bahwa mereka orang Indonesia.
Seorang manusia memiliki kemampuan dalam memahami bahasa ibunya ataupun bahasa di wilayah ibunya tinggal. Maka timbullah dalam persepsi manusia bahwasannya tidak semua orang yang terlahir berkulit hitam dapat memahami bahasa Papua ataupun Afrika. Tak jarang kita menemukan orang yang berkulit putih ataupun orang bermata sipit namun mahir bercakap bahasa Jawa. Justru ketika kita menyebut mereka sebagai orang Amerika atau orang Cina mereka menolak dan berkata bahwa mereka adalah orang Indonesia.
Maka wilayah dan bentangan alam yang luas tak lepas dijadikannya bagi setiap orang menjadi guru baginya. Maka timbul istilah “Alam terbentang luas jadikan guru”. Maka timbullah dalam benak manusia untuk mencintai alam sebagai guru yang mengajarinya dalam menapaki kehidupannya. Keluarga terdekat kawan-kawan di masa kecil bahkan kenangan yang dilewatinya menjadi suatu perasaan cinta sehingga menimbulkan cinta tanah air dalam skala kecil yaitu mencintai daerah dan wilayahnya tempat ia dibesarkan.
Kebhinnekaan dan Keindonesiaan Dalam Pandangan Para Sastrawan
Budayawan Emha Ainun Najib menilai cinta tanah air atau rasa nasionalisme hukumnya wajib bagi seluruh elemen bangsa sebagai warga negara Indonesia.
Baginya “Cinta tanah air, merawat Indonesia wajib hukumnnya karena kalau tidak dilakukan Tuhan akan marah”. Ia mengilustrasikan bahwa manusia telah ditentukan oleh Tuhan hidup di negara-negara tertentu. Dengan demikian, sebagai rasa bakti dan syukur kepada Tuhan, maka wajib hukumnya setiap warga Indonesia mencintai negara yang telah ditakdirkan Tuhan sebagai tanah tumpah darah mereka tersebut.
“Saya menjadi nasionalis justru karena saya seorang Muslim. Bagi saya nasionalisme wajib karena asal usulnya oleh Tuhan saya ditentukan lahir dan menjadi anak orang Indonesia sehingga saya wajib merawat Indonesia” kata dia. Munculnya oknum atau kelompok yang menolak nasionalisme dan ingin mendirikan negara dengan orientasi keagamaan tertentu justru karena mereka salah faham dalam mengkaji agama.
Kebhinnekaan yang ditandai dengan keberagaman tak menjadi alasan bagi setiap manusia untuk tidak mencintai negaranya. Naluri mencintai negeri inilah yang menjadi suatu cinta tanah air dalam wilayah dan skala besar. Bukan bertugas untuk merawat diri saja, tapi juga orang-orang di sekelilingnya dan wilayah dimana ia tinggal dan menetap.
Tak jarang kita melihat banyak orang yang justru tak tinggal di tempat dimana dia dilahirkan justru terkesan lebih mencintai tanah air mereka tanpa memandang orientasi keagamaan. Sehingga muncullah anggapan “Jika engkau ingin melihat indahnya Indonesia sebagai tanah airmu, engkau harus merantau meninggalkan Indonesia sampai engkau merindui dan menemukan betapa kau harus kembali dan mensyukuri indahnya Indonesia”.
Sementara itu, budayawan Yogyakarta, Ahmad Charis Zubair menilai banyak warga negara Indonesia yang tidak percaya diri menilai di sisi lain masih banyak warga negara Indonesia yang tidak percaya diri mengakui keunggulan budayanya sendiri karena silau dengan yang dimiliki negara lain. Mereka merasa negaranya tertinggal dari standar yang diterapkan negara-negara maju. Padahal, menurut Charis, penggolongan negara maju, berkembang dan tertinggal adalah bagian dari hegemoni politik dan budaya oleh sekelompok negara-negara tertentu yang menjadi salah satu tantangan globalisasi.
“Dengan mengikuti stigma itu kita akan dijebak pada persoalan ekonomi dan budaya karena pada dasarnya setiap bangsa atau negara memiliki potensi masing-masing yang tidak bisa diukur dengan standar negara yang dianggap maju” kata dia.
Negara-negara yang dianggap maju dan menjadi kiblat negara berkembang seakan menuntut kita menjadi bagian dari mereka sehingga di masa kini kita dihadapkan oleh penjajahan kebudayaan yang mengakibatkan pupusnya rasa cinta tanah air pada sebagian Bangsa Indonesia.
*Ust. Moch. Dzul Fahmi, S.H. Staf Pengajar di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Kampus 10 Jambi.