
Oleh: Sasmitho Tyas*
Satu dari sepersekian atau berjuta-juta majelis di dunia ini, aku mengemis akan kemaqbulan “Diskusi Malam Kupu-kupu” pada Dzat yang menggerakkan kalbu dan derap langkah untuk menapak dan membelah dingin malam di atas bukit Pajangan.
Majelis yang diinisiatifi secara kultural, secara alami atau orisinil, terbentuk oleh lingkar penulis lintas pikir, pendapat, statement, ide dan substansi. Majelis yang tidak dibangun karena egosentris dan semata-mata linnafsi (individual). Majelis yang murni didorong oleh kemrungsungan dan mafhum biljahli (menyadari ketidaktahuan suatu ilmu).
Konsep majelis yang mengalir sebagaimana air. Majelis yang utuh seperti keutuhan nalar tangis bagi yang tidak dibuat-buat tanpa intervensi hewani manusia. Majelis yang di samping kuantitafnya adalah mengeja, menggali, nggrayangi, menemukan, menggagaskan, dan mengutarakan pengetahuan—tema kualitifnya adalah mengimplementasikan “output” yang didapat.

Seperti adagium para ulama’: العلم بلا عمل، كالشجر بلا ثمر. (Ilmu tanpa diamalkan, tanpa menjadi perilaku, solah dan tingkah sehari-hari, seperti pohon tanpa berbuah), maka majelis “Dikusi Malam Kupu-kupu” adalah manifetasi adagium itu. Majelis yang tidak ada raja yang membikin peserta gemetar mengutarakan pendapat dan ide. Majelis yang sama rata, sama-sama guru. Majelis yang tidak ada konsep menggurui. Karena semuanya adalah guru yang komplementer dan sengkuyung.
Dari majelis itu, saya belajar menemukan titik-titik kelemahan, celah-celah ke-pedean saya. Majelis itu mendidik saya untuk kembali pada konsep innalillah wainna ilahi raji’un bahwa semua adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah Swt. Buah karya dari tangan saya yang hina dina ini diklotoki dan dikuliti agar saya memahami dan menyadari —tidak ada yang patut dibanggakan dari sisi keunggulan kita pada manusia. Karena harus juga saya mengerti kelak: semua adalah milik Allah. Dari majelis itu, saya diajari bahwa setiap selesai membikin karya, saya tidak boleh jadi orang yang muhtalan fakhuron (orang-orang yang sombong). Karena إن الله لا يحب كل مختال فخورا.
Saya diajari oleh majelis itu betapa pentingnya menyadari bahwa apapun; kepiawaian, kepintaran, kealiman, kegantengan, kecantikan, kekayaan, kepamoran, kepopularitasan, dan apapun itu, adalah milik Allah Swt. Sehingga ilmu adalah ilmunya Allah. Betapa ayat-ayat keagungan dan kebesaran Allah adalah ranah gaib yang kita sebagai manusia tidak punya kapasitas secara naluriyyah, riset, untuk mengkalkulasi dan memetakannya.
Ilmu-ilmu Allah itu sirrun, domentasi pribadi-Nya sendiri, hak prerogatifnya sendiri. وعنده مفاتح الغيب لا يعلمها الا هو, cuma Allah yang tahu tentang tabir kegaiban. Itu hak prerogatif Allah. Tidak perlu kita mengakui ilmu kita adalah khusus kita.
Kita hanya diberi bocoran bahwa barangsiapa bersungguh-sungguh dalam mengambah dan menapaki sabilillah (jalan menuju Allah) akan diberi petunjuk untuk mencapai makrifat (pengetahuan tentang Allah).
Juga kekayaan yang didapat adalah sepersekian percik dari ke-Mahakayaan Allah Swt yang tidak terbilang dan terpatri dalam pikiran luasnya. Seberapa kaya manusia, secuilpun tidak akan dapat membangun andromeda, galaksi, dan planet-planet yang belum terjamah, bukan?

Berangkat dari itu saya mencoba menggalih dan menerka-nerka diskusi “Malam Kupu-kupu” sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Wallahu a’lam. Semoga diskusi setiap kalam Sabtu ini menjadi jalan (tarikat) kita menuju sabilillah. اللهم اجعل جمعنا هذا جمعا مرحوما، وتفرقنا من بعده تفرقا معصوما.
“Ya Tuhan, jadikanlah perkumpulan kami ini salah satu perkumpulan yang diberkahi dan diberi sepercik dari sepersekian percik rahmat-Mu, juga setelah perpisahannya menjadi perpisahan yang tetap terjaga dan terpelihara). Amin.
*Sasmitho Tyas, pengagum semua orang dan pacar kekasih.