Oleh: Aguk Irawan MN.

Apa yang paling membanggakan dari sebuah bangsa ini? Salah satu terbesarnya, sampai hari ini kita masih bisa menyaksikan, tidak hanya kemegahan arsitektur Hindu-Budha yang masih terawat, tetapi banyaknya bangunan candi di hampir setiap daerah dan wilayah, yang paling megah, antara lain Borobudor dan Prambanan.

Lebih dari itu, adanya masjid yang masih diwarnai arsitek lokal, seperti masjid Menara Kudus yang masih menggunakan kepala sapi sebagai seni arsiteknya. Padahal, Islam sebagai agama di Nusantara sudah menjadi mayoritas sejak awal abad 17 M dan menjadi negara muslim terbanyak di dunia menjelang Abad 20.

Pendapat demikian disampaikan oleh Cendekiawan Muslim Indonesia, Nurcholis Madjid (Cak Nur), dalam bukunya Islam Tradisi (Paramadina, 1997). Tidak hanya almarhum Cak Nur, tetapi pemikir orientalis Marshal Hodgson, dalam bukunya The Venture of Islam, (The University of Chicago Press, 1974) juga mengatakan demikian.

Keduanya sepakat, bahwa “wajah” Islam di Indonesia benar- benar unik, khas, dan tak lazim dengan negara-negara lain yang terlebih dulu memeluk Islam, seperti India, dalam hal peninggalan artefak atau arsitektur.

Ketika Islam masuk negara itu pada tahun 711 M, pada masa pemerintahan Khalifah Umawi al-Walid ibn ‘Abd al-Malik, kemudian kelak berhasil mengislamkan kerajaan hindu yang cukup besar, yaitu Mogul. Tak lama dari itu terkikislah bangunan-bangunan arca kuno Hindu-Budha (khususnya di Lembah Sungai Indus, di India Utara), kemudian berdirilah bangunan Islam yang sangat megah, seperti Taj Mahal di Agra.

Lalu, tak lama dari itu berdirilah masjid yang cukup besar Qubbat al- Shakhrah (Dome of The Rock) di al-Quds, Yerusalem. Begitu selanjutnya yang terjadi di Persia (Safawi), sampai ke Turki (Usmani) dan semenanjung Iberia (Spanyol-Portugal), jejak arsitektur islamnya begitu mencolok. Tetapi di Nusantara tidak saja candi-candinya yang tetap berdiri kokoh dan terawat, bahkan peninggalan intelektualnya, salah satunya kitab-kitab kakawin.

Demikian itu terjadi menurut Cak Nur dan Hodgson, karena proses pengislaman di wilayah atau dunia Islam lain berbeda dengan yang terjadi di Nusantara. Di wilayah lain (negara di sekitar Arab) dengan cara ekspedisi dan ekspansi militer Islam dengan penaklukan (futūḥāt). Sementara di Nusantara dengan cara ‘damai’ yaitu dengan inkulturasi.

Pertanyaannya, apakah di Nusantara pernah terjadi penaklukan seperti negara lain? Mengutip Groeneveldt, 1877, Khalifah Umawi pernah menyerukan islamisasi dan ekspansi (penaklukan) atas wilayah-wilayah di Nusantara sejak perempat akhir abad ke-7 Masehi, yakni ketika kekuasaan Ratu Simha di Kalingga, sebagaimana diberitakan sumber- sumber Cina dari Dinasti Tang.

Historiografi Jawa mencatat bahwa Sultan al-Gabah (nama daerah dekat Samarkand) yang merupakan bagian dari kerajaan Safawi di Persia, mengirim 4000 pasukan muslim untuk mengislamkan Nusantara, tetapi semuanya tewas terbunuh, kemudian Sultan mengirim lagi 2000 tentara tewas terbunuh.

Lalu dikirim Syaikh Subakir untuk menanam tumbal agar Jawa, khususnya bisa dijadikan hunian umat Islam. Catatan historiografi Jawa ini menunjukkan betapa sulitnya proses islamisasi di Nusantara dengan cara ekspansi. Ternyata kehebatan pedang mereka tak mampu melawan keris para empu. (WP. Groeneveld. “Notes on The Malay Archipelogo and Malacca Compiled from Chines Sources”, VBG, 39 (1880) hal. 4-13).

Dengan demikian, salah satu hikmahnya, jejak arsitektur kita masih khas lokal, salah satunya berupa candi-candi. Setiap candi ada jejak cinta yang mengharu biru, cerita itu misalnya bisa dibaca pada salah satu karya Mpu Tantular di abad ke-14, Sutasoma. Riwayat itu dikisahkan kembali oleh Helen Creese dalam Dunia Kakawin, yang terbit di Pustaka Larasan, Denpasar, Juni 2012.

Maka bagi, Cak Nur Hodgson dan Helen Creese, keberadaan candi di tengah mayoritas umat islam yang nyaris seratus persen, misalnya dengan Borobudur dan Prambanan, tidak hanya sebatas monumen dan sejarah, lebih-lebih sebagai obyek wisata, tapi terpenting adalah kebanggaan kolektif kita sebagai rakyat, bangsa dan negara, dan untuk menggambarkan ini yang paling tepat adalah nasionalisme.

Ilustrasi “MELELANG” BOROBUDUR?

Pemerintah yang kuat sudah semestinya melahirkan nasionalisme yang kuat, begitu rumusnya ssbagaimana disetir Hordgson dan Creese, dua sarjana peneliti sastra Jawa Kuna dan Bali, memaparkan. Dari sekitar 30 karya yang ditelaahnya, Creese memfokuskan diri pada kalimat puitik, cinta dan ikon pendirian candi.

Seperti yang ditunjukkan ¬Creese, dalam Kunjarakarna karya Mpu Dusun di abad ke-14, misalnya, asosiasi antara yang alami dengan latar candi-candi dan penggambaran sepasang kekasih yang amat romantis, lalu tersuguh pemandangan awan berarakan yang turun dari pucuk gunung kemudian pecah bersama kabut dan gerimis di pagi hari. Sungguh memikat bukan?

Lalu bagaimana dengan tarif tujuh ratus lima puluh ribu untuk sekali naik ke Candi Borobudur yang diwacanakan Pak Luhut, dengan alasan perawatan, juga karena rawan penurunan tanah? Di situ pula faset lain tersingkap: hubungan kekuasaan dengan rakyat ternyata tak selamanya berdampak pada nasionalisme. Karena potensi “rusak” secara material candi yang itu seharusnya bisa diantisipasi secara teknologi, tetapi dalam kasus ini harus dibenturkan dengan harga nasionalisme rakyat pada sejarah bangsanya.

Lebih miris lagi dalam “pembatasan” nasionalisme ini adalah dengan sejumlah uang yang bisa membuat menjerit. Padahal nasionalisme ini terkait juga dengan trasendental. Tidak percaya? Tanyakan kepada masyarakat kecil yang baru saja turun dari kaki Candi? Atau jika ingin melihat masyarakat luar, tanyalah kepada rakyat Mesir yang ketika baru keluar dari terowongan di Piramida yang umurnya lebih tua dari Borobudur sekitar 1300 tahun lamanya.

Apakah disana tidak khawatir rusak? Tentu, Semua pengelola benda bersejarah punya kekhawatiran yang sama, tetapi ada teknologi untuk merawat, ada tata kelola dan manajemen bagi pengunjung, pada jam-jam tertentu, secara bergantian 24 jam, dan semua itu tidak mesti dibatasi dengan segepok uang, yang terkesan “melelang” warisan leluhur dengan menggadaikan nasionalisme rakyatnya?

Tapi, cerita yang ironis seperti di atas, dalam sejarah terkadang terulang; kekuasaan dan kesewenangan menjadi sepasang yang serasi untuk melakukan kekerasan pada rakyat, meskipun itu paradoksal!.

Bantul, 6 Juni 2022.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *