Oleh: Aguk Irawan Mn
Saat ini kita masih gagap menghadapi Revolusi Industri 4.0 yang dampaknya nyata bagi kehidupan dari segi positif, misalnya segala kemudahan arus informasi dalam hitungan detik langsung sampai ke kita, juga sisi negatif yang menyertainya.
Sebagaimana yang ditulis Jacques Ellul dalam The Technologi Soceity-nya, manusia atau masyarakat sudah “dimesinkan” dan digiring ke arah marah, fanatis, mem-bully atau menjadi serdadu pasar tanpa punya perasaan dan santun lagi.
Di sela-sela euforia, gegap gempita, dan mungkin kegagapan kita terhadap Industri 4.0 ternyata sekarang beberapa negara maju sudah mulai bergeser menuju dunia baru yang dikenal dengan istilah society 5.0.
Society 5.0 pertama kali dipresentasikan oleh Negara Jepang pada “The 5th Science and Technology Basic Plan” sebagai sebuah masyarakat masa depan yang dicita-citakan semua tanpa batas, yaitu mewujudkan sebuah masyarakat di mana manusia-manusia di dalamnya benar-benar menikmati hidup dan merasa nyaman.
Fisik yang selama ini menjadi penghalang, pembatas dan berjarak bisa didekatkan dan lebur menjadi satu. Jadi ke depan orang misalnya, tak perlu lagi datang ke satu negara hanya untuk kuliah, hadir mendengar dosen berbicara di satu ruangan.
Tapi di jagad maya orang bisa leluasa berkumpul menjadi satu dan duduk di deretan bangku dengan teman lainnya, bahkan ia bisa mengunjungi ruang perpustakaan dan mengambil buku, lalu membacanya terasa di ruangan fisik. Teknologi ini disebut sebagai metaverse, yaitu memfisikkan yang maya dan memayakan yang fisik.
Di masyarakat informasi masa lalu (Society 4.0), orang akan mengakses layanan cloud (database) di dunia maya melalui Internet dan mencari, mengambil, dan menganalisis informasi atau data. Ruang maya juga masih terbatas. Komunikasi dengan maya misalnya masih dibatasi dengan kemana arah kamera menyorot, apakah bagian depan, samping atau belakang?
Sementara di Society 5.0, informasi dalam jumlah yang sangat besar yang berasal dunia nyata terakumulasi di dunia maya. Di dunia maya, big data ini dianalisis dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI), dan hasil analisis diumpankan kembali ke manusia dalam dunia fisik dalam berbagai bentuk. Dalam komunikasi antar orangpun bukan tergantung kemana arah kamera, tapi semua hadir sepenuhnya dengan tiga atau bahkan empat dimensi.
Sepuluh tahun terakhir, ketika masyarakat bertemu dengan revolusi industri 4.0 ini saja tak pernah membayangkan kalau konsep mengenai fisik atau materi “ainul maddah” demikian mudah berubah dan mengikuti arus zaman.
Karena jika melihat ke masa lalu yang belum seberapa lama itu, ulama fiqih sepakat, transaksi jual beli, misalanya hanya bisa dilakukan dengan cara tradisional. Ada uang, ada barang (ainul madah), lalu transaksi kedua belah pihak. Era berganti, lalu masyarakat ketemu revolusi industri 4.0, ulama fiqih merubah sikap dan menafsir ainul madah (barang) boleh dengan maya/gambar, sebagaimana jual beli-online.

Sekarang era bergerak ke soceity 5.0, dengan adanya metaverse, yaitu seperangkat ruang virtual, yang seseorang bisa menjelajah dunia manapun seperti dunia fisik. Sekarang apakah ulama fiqih kedepannya berani berijtihad haji tidak harus ‘terbang’ dan berpindah secara secara fisik? Tapi cukup via metaverse? Sebab selain menyambut era baru, juga daftar tunggu haji-fisik sudah overload.
Apalagi haji ini tidak hanya soal materi, fisik dan jarak, tapi soal pemaknaan simbolisme dan ruang batin bernama rohani. Pertanyaannya, apakah metaverse bisa membantu manusia mendekatkan yang fisik ke ruang rohani?
Karena ada postulat dari kaum sufi dan itu sudah sering kita dengar, haji bukan saja mendekatkan fisik (tubuh) ke ruang fisik, seperti ka’bah, arafah dan mina, tapi bagaimana membawa materi fisik itu masuk ke kedalaman batin yang sunyi? Maka, kita patut menunggu ijtihad ulama berikutnya soal fiqih haji di era metaverse atau soceity 5.0 ini?