
Oleh: Afin Nur Fariha
Alam bawah sadar adalah sumber daya melimpah yang dipunya setiap diri untuk menggali ide. Ia merupakan bigdata dengan segala kejujuran yang mensamudra – hingga memahatnya dengan pena maka adaku menjelma.
Kamis malam (23/06) setelah mengaji diba’, para santri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah tak langsung pulang menuju kompleks masing-masing. Malam itu kami berkesempatan bertemu dengan psikolog kenamaan Habib Soleh Ug yang juga seorang pakar sastra arab. Kecintaannya pada sastra arab diwujudkan dengan mendirikan sebuah penerbitan yang menggeluti naskah-naskah sastra arab mulai dari klasik hingga terbaru dalam wadah Navila Pustaka.

Pertemuan malam itu diawali dengan menonton film yang menarasikan makna dari surah Al Mukminun:115 tentang tujuan penciptaan manusia. “maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” Nampaknya moment menonton film tersebut menjadi pengantar atas diskusi panjang yang dimulai sejak pukul 20.00-22.30 WIB.
Dalam diskusi yang bertajuk Memanfaatkan Pikiran Bawah Sadar untuk Kreatif Writing, Habib Soleh Ug mencoba mengingatkan kembali kepada santri Baitul Kilmah untuk menggali sejauh mana pemaknaan dalam menghayati tujuan hidup tiap individu. Adapun pontensi, keunikan, ciri khas, kecenderungan, suku, sejarah, dan latar sosial yang berbeda-beda, kesemuanya merupakan rajutan data yang mengisi bawah sadar tiap-tiap diri. Membaca ulang tujuan hidup adalah upaya untuk mengenal diri dan meneguhkan jalan penghambaan.
Maka menjadi sinkron jika film yang menarasikan makna surah Al Mukminun 115 itu, digunakan sebagai medium agar para peserta dapat menyelami lebih dalam untuk masuk pada alam bawah sadar masing-masing. “Pertanyaan pertama seorang hamba sebelum ia memulai kehidupan di dunia adalah kesadaran untuk apa diciptakan, dan itulah data pertama yang mengisi bawah sadar kita.” tutur Habib Soleh.
Lebih lanjut, Habib Soleh mengatakan, “Ada tiga spektrum kesadaran dalam diri manusia, yaitu alam sadar, bawah sadar dan tidak sadar. Manusia justru lebih banyak terbentuk dari alam bawah sadar ketimbang oleh kesadaran. Sebab, bawah sadar merupakan tabungan atau bagasi pengalaman yang lebih banyak menjadi referensi seseorang dalam memandang atau mengambil tidakan. Dalam alam bawah sadar yang baik, tindakan atau refleks seseorang juga akan cenderung baik. Alam bawah sadar serupa kumpulan doa-doa panjang, yang mana doa tersebut akan lebih menampakkan wujudnya saat dituliskan.”
Dalam diskusi yang dimoderatori langsung oleh Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Aguk Irawan M.N, moment ini berhasil menumbuhkan banyak optimisme kepada para santri bahwa suatu ide tidak pernah ada habisnya, bahkan pada semesta lapis bawah sadar tiap insan, data-data tersebut menjelma mutiara. Sehingga, akan sangat eman jika mutiara tidak dirawat. Salah satu laku merawatnya adalah dengan berusaha menarasikan kekayaan bawah sadar menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati banyak orang, baik berbentuk cerita, puisi, lukisan maupun film.

Menengok kekayaan ide pada alam bawah sadar manusia, semestinya menjadi salah satu aji sakti dalam menghadapi tantangan yang ditemui saat menulis. Adapun berdasarkan diskusi kelompok kecil yang kami gelar, menurut beberapa santri, tantangan yang paling sering dijumpai ketika menulis di antaranya adalah: kebingungan dalam merumuskan kalimat pertama, kemacetan ide di tengah tulisan juga susahnya mengungkapkan apa yang dimaksudkan oleh calon penulis.
Mengenai tawaran solusi atas tantangan tersebut, Habib Sholeh memberi sedikitnya tiga pertimbangan. Pertama, meneguhkan tujuan menulis, sebab bersamaan keteguhan hati akan menjadi mercusuar yang mengingatkan penulis untuk lebih semangat ketika menghadapi kemacetan ide. Habib Sholeh juga menegaskan bahwa tujuan yang dimaksud adalah tujan yang harus konkret.
Kedua, merilekskan pikiran dengan cara menyatu pada alam untuk menyerap energi baik. “Pada dasarnya alam dan manusia adalah sebuah kesatuan yang padu. Jika kita baik dan merawat alam, alam akan memberikan energi baiknya kepada kita. Dengan kedua sinergi baik dari alam dan perilaku kita, di situlah seorang akan lebih mudah menggali ide,” terangnya.
Ketiga adalah dengan memperbanyak referensi estetika, baik estetika rasa, visual, audio maupun bacaan. Referensi yang banyak akan memperkaya daya imajinatif sehingga gerak penulis untuk melakukan eksplorasi menjdi lebih lentur.
Di penghujung sesi, menukil adagium filsuf Prancis Rene Descartes, aku berpikir maka aku ada, Habib Soleh melanjutkan, “tahap setelah berpikir, kemudian aku menulis maka aku ada,” juga pribahasa latin kuno, verba volant skripta manent: kata-kata berterbangan sementara tulisan akan menetap. Tak ketinggalan seperti api semangaat Sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer, “Menulis adalah kerja-kerja keabadian.” Dilengkapi petuah seorang filsuf Islam, Abu Hamid Al Ghazali “jika engkau bukan seorang anak raja, bukan juga seorang anak ulama besar maka: menulislah!”
Empat pernyataan yang cukup untuk memantik tiap peserta dalam berefleksi bahwa: pada dasarnya setiap orang dan tulisan dititipi oleh Sang Pencipta untuk menyampaikan amanahnya masing-masing. Telaga amanah itu kita dapat mengacanya pada kekayaan bawah sadar- hingga kekayaan bawah sadar tersebut sampailah pada proses dipahat dengan huruf-huruf untuk menstimulus ide-ide kreatif. “Selamat menulis!” pungkas Habib Sholeh.
