
Oleh: Muhammad Ja’far Rasyid
Pesantren Sastrawan Jurusan Agama
Jarum jam menunjuk 04.00. Kubiarkan korden yang menutupi jendala sedikit terbuka. Angin sejuk menerpa wajahku, hembusan angin sawah mengantarkan bebau harum tanaman padi dan rumput ilalang, merasuki kedua lubang hidung dan membuat rongga dada terasa segar. Sudah lumayan lama diri ini terbangun, kala mereka terlelap dalam selimut yang hangat. Mungkin mereka masih bermimpi tentang kemesraan dan kegembiraan, sedangkan pikiranku berlayang memikirkan sebuah tempat yang ingin aku berada disana. Sebuah tempat dimana aku dapat belajar menulis dan ilmu agama. Ya, Pondok Pesantren Baitul Kilmah. Aku merasa sangat bersemangat karena ini merupakan pertama kalinya aku mondok.
Terdengar adzan shubuh berkumandang, kami sekeluarga melaksanakan sholat berjamaah di sebuah musholla. Setelah sholat shubuh, aku membaca novel karya KH. Aguk Irawan yang berjudul Penakluk Badai. Novel tersebut merupakan Biografi tentang Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Ormas Islam Nahdlatul Ulama. Tidak terasa jarum jam menunjuk angka 06.00. Sang ibu memanggilku untuk sarapan bersama, setelah itu aku pergi mandi dan mempersiapkan barang-barang yang akan kubawa ke pondok.
Setelah berpamitan dan meminta doa dengan para kerabat dan tetangga, aku beserta keluarga berangkat ke pondok. Memang sudah biasa aku pergi dari Klaten ke Yogyakarta, namun kali ini rasanya berbeda. Mungkin karena biasanya ke Yogyakarta hanya pergi bermain, tetapi ini aku pergi untuk waktu lumayan lama. Setelah kurang lebih 2 jam kami tiba di dusun Kayen dan aku melihat pemandangan yang berbeda. Bila biasanya yang kupandang hanya hamparan sawah dan gunung Merapi Merbabu, kini yang kupandang luasnya hutan pohon jati dan unsur bebatuan yang mengandung kapur. Yang membuatku terheran, mengapa masyarakat disini ada yang rumahnya terletak jauh dari rumah yang lain?

Setelah melewati pemandangan baru tersebut kami akhirnya sampai di pendopo Pondok Pesantren. Ditemani ustadz Doyok dan para santri lainnya, kami berbincang tentang sejarah berdirinya pondok ini. Baitul Kilmah berarti Rumah Kata, pantas saja para santri dan juga beliau KH. Aguk Irawan merupakan seorang penulis. Dengan banyaknya buku yang telah dikarang oleh para penulisnya menjadikanku yakin untuk belajar membaca dan menulis disini. Karena mempunyai urusan lain, Abah beserta sekeluarga berpamitan pulang. Aku meminta doa restu dan bersalaman dengan keluargaku. Aku pun diantar Ustadz Doyok menuju kamar yang telah disediakan untuk santri SMK. Karena aku merupakan santri SMK yang pertama datang ke pondok ini, aku merasa kesepian. Di kamar aku berbaring diatas karpet dengan posisi tengkurap aku meletakkan kepalaku di atas bantal. Tanpa sebab dan alasan air mataku mengalir, membasahi bantal dan baju.
“Ada apa denganku? Kenapa aku menangis tanpa sebab? Baru sejam yang lalu aku bersenang-senang namun mengapa sekarang aku menangis?” batinku.
Setelah rasa sedih yang tidak tau alasan tersebut sedikit terkurangi, aku pergi ke tempat wudhu kemudian melakukan sholat Dzuhur.
Untuk mengisi kekosongan di kamar sendirian, aku melanjutkan membaca novel yang belum selesai aku baca. Dengan ditemani sebuah cangkir yang berisi kopi hitam dan juga sebuah pulpen yang siap menulis sesuatu yang baru. Belum ada setengah novel yang kubaca, tetapi itu telah menambah pengetahuanku tentang siapa itu KH. Hasyim Asy’ari, nasab beliau, karya-karya beliau, dan lain-lain. Yang sebelumnya aku mengenalnya hanya sebatas nama yaitu seorang pendiri Ormas Islam besar di Indonesia, namun aku belum terlalu mengenal tentang beliau.
Sedang asik membaca novel tersebut, terdengar suara yang menyeru umat Islam untuk melakukan ibadah sholat Ashar. Adzan itu begitu merdu hingga membuatku ingin ke tempat tersebut. Namun aku lupa kini aku tidak berada di rumah tapi berada di pondok. Jadi kuurungkan niatan tersebut. Sebagai gantinya aku mengambil wudhu dan sholat di musholla yang berada dekat dengan tempat berkarya para santri. Tengah sedang i’tikaf, tanpa terasa air mata kembali membasahi mataku, aku pun menyimpulkan alasan mengapa aku terus-terusan meneteskan air mata. Itu mungkin dikarenakan aku belum terbiasa sendiri bisa juga dibilang belum kerasan di pondok. Dan juga tidak ada seorang teman yang bisa kuajak bercerita dan bercanda. Setelah dirasa tertahan air mataku, aku memasuki kamar dan memilih untuk beristirahat sembari menunggu waktu sholat Maghrib tiba. Di kamar yang sepi tanpa suara itu aku bergumam.
“Ternyata begini suasananya kalau duluan datang, kenapa juga aku duluan datang ya? Kan jadi gabut disini. Katanya sih besok ada santri lagi yang datang, semoga saja itu santri SMK juga. Ya sudah dijalani saja lah, Bismillah. Mending sekarang aku mandi.”
Setelah mandi aku pergi ke pancuran belakang dan menuju pendopo untuk menunaikan sholat Maghrib dan Isya’ berjamaah dengan para mahasiswa. Selesai sholat berjamaah aku melihat seorang santri yang bersikap aneh, suka bercanda namun berilmu. Aku mencoba mengingat wajahnya yang kurasa tidak asing lagi, iya aku pernah melihatnya melalui ZOOM Meeting sebelum pergi ke pondok. Setelah memberanikan diri aku bertanya kepada beliau apakah benar yang kulihat di ZOOM Meeting itu memanglah dia. Dan ternyata benar. Saat pertama melihat di ZOOM Meeting kurasa beliau ini sama sepertiku, seorang calon santri SMK yang hendak mondok. Karena memiliki wajah yang masih muda, wajar saja aku beranggapan demikian. Namun ternyata aku salah, jadi kita tidak bisa menilai seseorang dari apa yang kita lihat saja, namun dari bagaimana sikap, perilaku, dan juga adab orang tersebut.
Setelah selesai beribadah aku ingin turun ke asrama, namun dihentikan oleh ustadz Doyok.
“Mau kemana kok buru-buru banget, mending kesini loh makan gorengan”
“Iya ustadz”
Kami pun bercerita, bercanda, saling berbagi ilmu dan pengalaman. Dan disitulah, aku mengenal seorang penulis yang sudah aku sebutkan tadi. Dari beliaulah aku bersemangat untuk belajar menulis dan membaca. Setelah kurasa sudah cukup malam, aku mengizinkan diri turun ke asrama untuk beristirahat. Aku pun pergi mengambil wudhu kemudian melakukan ibadah yang sering dilakukan banyak orang yaitu tidur.

Hanya suara ayam berkokok yang terdengar bersautan. Ketika beberapa Hamba Allah beristirahat setelah seharian mencari ilmu, menulis, dan bekerja. Mereka seakan begitu menikmati hembusan angin semilir yang berhimpitan dengan pohon pisang. Adzan Shubuh pun berkumandang memecah kesunyian dan meminta para Hamba Allah itu untuk beribadah kepada-Nya. Saat kubuka jendela aku tidak lagi menghirup udara sejuk berharum tanaman padi dan rumput ilalang, namun kali ini udara semilir yang memang terasa dingin. Dan yang kulihat hanya pepohonan pisang dan juga tembok yang membatasi area pondok dengan rumah penduduk. Sang mentari mulai menampakkan keelokkannya dalam menyinari sebagian dari besarnya bumi. Untuk mengawali kegiatan aku merebus air untuk membuat secangkir kopi. Sambil menunggu air itu masak, aku pergi mencari buku-buku yang tersedia di lemari perpustakaan. Belum sempat menemukan buku yang enak untuk dibaca, terdengar suara air yang telah mendidih. Aku pun segera mengambil buku dan membuat kopi untuk dihidangkan ketika membaca buku tersebut.
Ketika tengah asik membaca buku, tiba-tiba ada yang membuka pintu kamar. Dan itu adalah Ustadz Doyok dan juga seorang santri yang juga merupakan santri SMK, alangkah senangnya bisa bertemu dengan teman baru. Aku pun mengajaknya berkenalan, menanyakan nama, asal, pengalaman mondok, dan lain lain. Ternyata dia sudah mondok sejak MTs, berbeda denganku yang baru kali ini mondok. Jadi bisa belajar dengannya tentang pelajaran di pondok yang belum terlalu aku mengerti. Dan dengan kedatangannyalah aku menjadi kerasan berada di pondok ini. Dan aku tetap belajar membaca dan menulis, yaitu dengan sering membaca buku dan saling sharing informasi dengan yang lain.
*Muhammad Ja’far Rasyid, siswa kelas XI SMK Peradaban Desa