
Niqab Menurut Pandangan Ulama Klasik dan Kontemporer
Dalam Islam wanita diwajibkan untuk menutup auratnya. Sebagai seorang umat Islam, pasti sudah tidak asing lagi dengan kata jilbab, niqab, cadar, dan sejenisnya. Itu semua adalah busana yang dikenakan oleh kebanyakan umat Islam perempuan di bagian menutupi kepala dan rambutnya.
Seiring berjalannya waktu, jilbab yang dulu hanya dianggap sebagai pakaian umat Islam perempuan untuk menutup auratnya dari mahram mereka, sekarang jilbab sebagian besar digunakan sebagai fashion, trend, dan sebagian perempuan mengunakan jilbab hanya untuk penutup rambut dikarenakan biaya perawatannya yang mahal. Dan sampai saat ini banyak pendapat tentang jilbab, ada yang mengatakan itu wajib, dan ada yang mengatakan itu tidak wajib.
Cadar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan). Dalam bahasa Arab cadar disebut dengan النقاب. Niqob bentuk jamaknya Nuquub. Dalam kamus Al-Munawwir Niqab berarti kain tutup muka. Dalam kamus Lisaanul Arab kata النقاب yaitu kain penutup wajah bagi perempuan hingga hanya kedua mata saja yang terlihat. Dari arti kata cadar di atas, dapat dipahami bahwa cadar adalah suatu nama yang diperuntukkan bagi pakaian yang berfungsi untuk menutup wajah bagi perempuan.
Dalam menentukan hukum niqab, berangkat dari perbedaan dalam menentukan batasan aurat, secara syariat hukum menutup aurat wajib. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa wajah perempuan tidak termasuk aurat, selama wanita tersebut memakai pakaian yang tidak membentuk lekuk-lekuk tubuh wanita dan tidak menyingkap segala sesuatu kecuali wajah dan telapak tangan, maka hal ini termasuk pakaian yang syar’i.[1]

Adapun pendapat ulama klasik tentang niqab ini yaitu:
-
Imam Asy-Syafi’i
Sebagai imam madzhab yang diikuti oleh para pengikutnya yang terbanyak di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mengatakan dalam kitabnya Al-Umm sebagai berikut: “wakullual-mar-ati awratunil laakaffayha wawajhahaa.” Artinya: “Dan keseluruhan tubuh wanita adalah aurat, kecuali dua telapak tangan dan wajahnya.”[2]
Sayid Al-Bakri Al-Syatha dalam kitabnya I’anahath-Thalibin mengatakan:
قوله وستر حرة ) ( قوله ولو صغيرة ) أي مميزة أو غيرها ( قوله غير وجه وكفين ) أي يجب ن تستر سائر بدنها حتى باطن قدمها ما عدا وجهها وكفيها , وذلك لقوله تعالى : ” ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها . ” قال إبن عباس وعائشة هو الوجه والكفان ولأنهما لو كانا عورة في العبادات لما وجب كشفها في الإحرام ولأن الحاجة تدعو إلى إبرازهما
“Menutup aurat bagi wanita merdeka, termasuk anak perempuan yang sudah mumaiyiz adalah selain wajah dan dua telapak tangannya. Maksudnya, seluruh tubuh wanita, termasuk telapak kakinya adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Pendapat ini didasarkan dalilnya pada firman Allah Ta’ala: “…dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” Ibnu Abbas dan Aisyah mengatakan yang dikecualikan dalam ayat ini adalah wajah dan dua telapak tangan wanita. Jika wajah dan kedua telapak tangan wanita aurat kenapa ketika mereka berihram diwajibkan membuka penutup muka dan kedua telapak tangan dan perlu dibuka pula penutup wajah jika ada keperluan yang sangat mendesak.”[3]
Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfah al-Muhtaj mengatakan:
و عورة ( الحرة ) ولو غير مميزة والخنثى الحر ( ما سوى الوجه والكفين ) ظهرهما وبطنهما إلى الكوعين لقوله تعالى : ” ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها , ” أي إلا الوجه والكفين وللحاجة لكشفهما وإنما حرم نظرهما كالزائد على عورة الأمة لأن ذلك مظنة للفتنة
“Dan aurat wanita merdeka, sekalipun dia itu belum mumaiyiz atau dia khuntsa yang merdeka, adalah selain wajah dan dua telapak tangan, meliputi perut tangan, belakang telapak tangan sampai dengan persendian pergelangan tangannya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: “…dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” Artinya, kecuali yang bukan aurat adalah wajah dan dua telapak tangan. Alasan lain adalah karena ada keperluan membukanya yang sangat mendesak. Jika berpotensi menimbulkan fitnah, maka diharamkan memperhatikan wajah dan dua telapak tangan wanita muslimah merdeka, tidak bisa disamakan dengan memperhatikan wajah dan kedua telapak tangan wanita hamba sahaya.[4]
-
Imam Hanafi
Di dalam kitab al-Ikhtiyar, salah satu kitab madzhab ulama Hanafiyah, disebutkan: “Tidak diperbolehkan melihat kepada wanita ajnabi kecuali wajah dan kedua telapak tangannya serta dua punggung ujung kakinya jika tidak dikhawatirkan akan menimbulkan hasrat seksual. Diperbolehka nmembuka ketiga anggota tubuh itu karena didasarkan pada kepentingan dan fungsi masing-masing anggota tubuh tersebut yang mustahil dielakkan. Tangan adalah berfungsi untuk mengambil dan memberi, wajah di samping sebagai identitas yang membedakan antara satu orang dengan orang lainnya juga berfungsi sebagai wahana komunikasi dengan sesama manusia. Sedangkan kaki diperlukan untuk berdiri dan berjalan. Di dalam kitab al-Ikhtiyaritu disebutkan pula bahwa orang laki-laki dengan melihat telapak kaki wanita tidak mungkin timbul hasrat seksual dibandingkan dengan melihat wajah yang cantik yang kemungkinan akan menimbulkan hasrat seksual.[6]
Asy-Syaran balali mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangan dalam dan telapak tangan luar. Demikian pula suaranya, namun tidak dinilai aurat jika di hadapan sesama wanita. Akan tetapi, jika berpotensi menimbulkan fitnah, maka dilarang wanita muslimah menampakkan wajahnya di hadapan para laki-laki.[7]
-
Imam Maliki
Di dalam kitab Aqrabal-Masalikila Madzhab Malik karangan Ad- Dardir, sebagaimana yang dikutip oleh Sa’dawi, disebutkan bahwa aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Sehubungan dengan hal tersebut Ash-Shawi menyatakan bahwa dibolehkan memandang wajah dan kedua telapak tangan wanita muslimah hingga pergelangan tangannya, termasuk punggung tangan dan telapak tangan tanpa bermaksud untuk membangkitkan nafsu seksual orang-orang yang melihatnya. Dan haram hukumnya jika si wanita bermaksud mempertontonkan anggota tubuhnya untuk merangsang nafsu seksual kaum laki-laki.[8]
Syaikh Ad-Dardiri, di dalam kitabnya Syarah al-Kabir menyebutkan:
و كره ( انتقاب امرأة ) أي تغطية وجهها بالنقاب وهو ما يصل كرة للعيون في الصلاة لأنه من الغلو والرجل أولى ما لم يكن من قوم عادتهم ذلك
“Makruh bagi seorang perempuan menutup wajahnya dengan niqab sesuatu yang menutupi mata saat melakukan salat, karena hal itu termasuk berlebihlebihan (ghuluw) lebih-lebih bagi laki-laki.Kemakruhan ini berlaku selama penggunaan niqab bukan bagian dari adat atau tradisi setempat.”[9]
Ad-Dasuqi memberikan penjelasan atas pendapat Ad-Dardiri sebelumnya bahwa kemakruhan penggunaan cadar bukanhanya di dalam salat, tetapi juga di luar salat.
Fakta sejarah mebuktikan bahwa perempuan yang mengenakan cadar di beberapa wilayah arab pun karena alasan yang bersifat sosial-kebudayaan bukan teologi-keagamaan, yakni untuk merawat “tradisi dan budaya” yang sudah turuntemurun diwariskan oleh para leluhur mereka, yaitu masyarakat Arab Baduin yang tergolong “pastoral nomad” (noma dicpastoralists) dalam pola hidupnya, yakni hidup berpindah-pendah bersama keluarga dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari penghidupan dan sumber-sumber ekonomi. Sebagian perempuan yang bercadar ini melepas cadarnya kalau sedang bepergian ke Luar Negeri (keluar dari teritori Saudi). Mereka beralasan cadar hanya tradisi/budaya Jazirah Arabia karena itu tidak ada alasan buat mereka untuk tetap memakainya kalau berada diluar Saudi.Meski begitu, adajuga yang tetap mengenakan cadar meskipun berada diluar Saudi dengan berbagai alasan dan pertimbangan.
-
Imam Hambali
Hanya mazhab Hanbali saja yang cukup ketat dalam persoalan cadar ini. Mazhab-mazhab Islam lain sangat longgar dan fleksibel. Karena Saudi secara formal mengikuti mazhab Hanbali, maka tidak heran jika masalah percadaran ini begitu dominan disini. Tetapi pengikut mazhab Hambali dan turunanya bukan hanya di Saudi saja, melainkan juga di negara-negara lain. Karena itu, tidak heran jika kita menyaksikan perempuan bercadar di India, Pakistan, Bangladesh, Afganistan, dan bahkan Indonesia.
Adapun pendapat ulama kontemporer yaitu:
-
Ramadhan al-Buti
Beliau mengomentari Q.S. al-Ahzab/33: 53:
يٰآاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتَ النَّبِيِّ اِلَّآ اَنْ يُّؤْذَنَ لَكُمْ اِلٰى طَعَامٍ غَيْرَ نٰظِرِيْنَ اِنٰىهُ وَلٰكِنْ اِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَاِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوْا وَلَا مُسْتَأْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيٖ مِنْكُمْ ۖوَاللّٰهُ لَا يَسْتَحْيٖ مِنَ الْحَقِّۗ وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ ذٰلِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّۗ وَمَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلَ اللّٰهِ وَلَآ اَنْ تَنْكِحُوْٓا اَزْوَاجَهٗ مِنْۢ بَعْدِهٖٓ اَبَدًاۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggununggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di sisi Allah.”
Ramadhan Al-Buti mengomentari ayat ini, bahwa meskipun ayat ini turun untuk isteri-isteri Nabi, namun hukumnya tidak hanya untuk isteri-isteri Nabi, sebab ‘illat-nya di semua perempuan pasti ada. Maka hukum ini bersifat umum dan dinamakan qiyas jaly atau yang dinamakan dengan qiyas aula. Wainna al-‘ibrahbi‘umum al-lafz la bikhusus al-sabab.[10] Dengan demikian menurut Al-Buti cadar yang wajib dipakai perempuan ialah termasuk dari hijab yang tergolong dalam ayat diatas, yaitu harus menutupi kepala, rambut dan wajah, sebab ayat tersebut memerintahkan laki-laki berkomunikasi dengan perempuan yang bukan muhramnya harus dari belakang tabir, sehingga wajah dan segala anggota tubuhnya tidak dapat dilihat. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Ahmad sebagai berikut:
Abdullah bin Abbas bercerita, bahwa seorang perempuan dari kabilah khath’am meminta fatwa kepada Rasulullah SAW. Diwaktu haji wada’ sedang yang mendampingi Rasulullah ialah Fadl bin Abbas. Perempuan itu bertanya: wahai Rasulullah sesungguhnya kewajiban naik haji telah menimpa ayahku, sedangkan beliau sudah lanjut usia,tidak mampu duduk diatas kendaraan. Apakah bisa saya hajikan untuknya? Lalu Rasullah SAW. bersabda: ya, kemudian Fadl bin Abbas menoleh kepada perempuan itu. Perempuan itu cantik-,lalu Rasulullah SAW.memegang Fadl dan memalingkannya kearah lain. (HR. Ahmad: 2266.)
Hadits ini menunjukkan bahwa perempuan muslimat wajib memakai cadar (menutupi wajahnya), sebab jika perempuan diperbolehkan tidak memakai cadar, maka Nabi tidak akan memalingkan Fadl bin Abbas kearah lain. Sedangkan perempuan kabilah Khath’am itu sedang tidak memakai cadar (sehingga terlihatlah kecantikan wajahnya), karena ia sedang muhrimah di waktu haji, keadaan itu lah yang melarang Ia untuk bercadar, sebab Rasulullah melarang laki-laki yang sedang berihram memakai kain yang ada jahitannya, dan perempuan dilarang memakai cadar.
Syaikh Mutawalli alSha‘rawi menampilkan penafsiran Syaikh Sayyid Tantawi dalam kitabnya al-Tafsir al-Wasit saat menafsiri surat al-Ahzab: 59, dimana ia mengatakan:
والجلابيب جمع جلباب ، وهو ثوب يستر جميع البدن ، تلبسه المرأة فوق ثيابها . والمعنى : يا أيها تشلك ، وقل لنساء المؤمنين النبي قل لأزواجك اللائي في عصمتك ، وقل لبناتك اللائي هن من لقضاء حاجتهن ، فعليهن أن يسدلس الجلاليب عليه ، حتى كافة ، قل لهن : إذا ما خرجن يسترن أجسامهن سترا تاما من رؤوسهن إلى أقدامهم ؛ ريادة في التستر والاحتشام ، وبعدا ء عن مكان التهمة والريبة .
Tulisan Syaikh al-Sha‘rawi ini sebenarnya merupakan respon terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa cadar merupakan bid’ah yang hukumnya makruh dan haram. Ia sangat heran terhadap kelompok ini. Apalagi kemudian kelompok ini menisbahkan pendapatnya kepada al-Azhar dimana menurut al-Sha‘rawi, Syaikh al-Azhar sendiri, yakni Muhammad Sayyid Tantawi mendukung pemakaian cadar dalam tafsirnya.
-
Syeikh Ali Jumah:
Dalam fatwa ini, Syaikh ‘Ali Jum‘ah menegaskan bahwa pakaian syar’i yang diperuntukkan bagi perempuan adalah semua pakaian yang tidak menggambarkan pesona tubuh dan menutup seluruh tubuh perempuan, selain wajah dan kedua telapak tangan. Seorang perempuan juga tidak dilarang memakai pakaian yang berwarna-warni dengan syarat pakaian tersebut tidak menarik perhatian dan dapat menimbulkan fitnah. Jadi, apabila pakaian yang dipakai oleh perempuan telah memenuhi syarat-syarat ini, maka perempuan boleh memakainya. Adapun cadar, menurut pendapat yang sahih, hukumnya tidak wajib, karena aurat perempuan muslimah yang merdeka adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Oleh karena itu, boleh bagi perempuan menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya. Menurut Syaikh ‘Ali Jum’ah, pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafi yyah, Malikiyyah dan Shafi‘iyyah. Menurut al-Mardawi, pendapat ini adalah pendapat yang sahih dari mazhab Ahmad dan ashabnya. Pendapat ini juga merupakan pendapat al-Awza‘i, Abu Thawr dan mujtahid lainnya dari kalangan salaf. Bahkan ulama Malikiyyah menegaskan bahwa pemakaian cadar bagi perempuan dapat dihukumi makruh apabila hal itu tidak menjadi kebiasaan masyarakatnya. Mereka menyebutkan bahwa memakai cadar pada komunitas masyarakat yang tidak bercadar merupakan perbuatan ghulluw (berlebih-lebihan) dalam beragama. Syaikh ‘Ali Jum‘ah kemudian menampilkan dalil dan argumen yang mendukung pendapatnya. Hingga pada kesimpulannya, ia berpendapat bahwa permasalahan pakaian berkaitan erat dengan kebiasaan sebuah komunitas masyarakat. Menurutnya, pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama yang memperbolehkan perempuan membuka wajah dan kedua telapak tangannya. Pendapat inilah yang diamalkan dan difatwakan di Negara Mesir.
-
Syaikh Muhammad al-Ghazali:
Syaikhal-Ghazali mengkritik ulama yang mewajibkan perempuan memakai cadar. Ia menampilkan sekian ayat maupun hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Saw. dan para sahabat tidak pernah memerintahkan seorang perempuan pun untuk menutup wajah mereka. Syaikh Muhammad al-Ghazali juga membantah anggapan sebagian ulama yang mengatakan bahwa memakai cadar merupakan bentuk ta’assi (mengikuti) terhadap istri-istri Nabi Saw. Jika dalam permasalahan ini mengikuti apa yang dilakukan oleh istri-istri Nabi Saw. dianjurkan, maka, mengapa Rasulullah Saw. dan para sahabatnya tidak memerintahkan anjuran ini kepada segenap perempuan muslimah dan membiarkan mereka membuka wajah mereka tanpa pertentangan? Dalam pandangan Syaikh Muhammad al-Ghazali, rumah tangga Nabi Saw., khususnya yang berkaitan dengan istri-istrinya mempunyai aturan khusus, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya: “Wahai istri-istri Nabi, kalian semua tidak seperti perempuan (yang lain).” [QS.al-Ahzab (33): 32]. Keharaman menikahi istri-istri Nabi Saw. setelahNabi Saw. wafat, balasan pahala maupun siksa yang berlipat ganda merupakan syariat yang khusus berlaku bagi mereka. Demikian pula tentang cadar yang dipakai oleh istri-istri Nabi Saw. dan keharusan mereka berada di dalam rumah, menurut Syaikh Muhammad al-Ghazali, semuanya itu termasuk kekhususan bagi para istri-istri Nabi Saw.
-
Abdul Halim Abu Shuqqah:
Dalam bukunya yang berjudul Tahrir al-Mar’ah fi ‘Asr al-Risalah tentang cadar dalam syariat Islam. Dalam tulisannya ini ia menyimpulkan bahwa cadar merupakan salah satu bentuk perhiasan atau fashion, seperti halnya ‘imamah (sorban) yang dipakai oleh laki-laki. Dengan demikian, cadar termasuk kategori pakaian yang masuk dalam ranah kebiasaan dan tidak berkaitan dengan ibadah. Sementara itu al-Imam al-Akbar Dr. Ahmad al-Tayyib, Syaikhal-Azharal-Sharif, sebagaimana dikutip oleh situs Youm7 mengatakan bahwa cadar tidak wajib, juga tidak sunnah, akan tetapi juga tidak makruh atau terlarang. I amengatakan bahwa cadar merupakan sesuatu yang mubah. Perempuan yang tidak memakai cadar, iatidak berdosa. Demikian pula yang memakai cadar, ia tidak bisa dikatakan telah melaksanakan perintah syara’ yang mendapatkan pahala. Memakai cadar merupakan permasalahan yang hukumnya mubah, sepertihalnya memakai cincin, boleh dipakai dan dilepas. Cadar menurut al-Tayyib termasuk kategori perhiasan (fashion) yang tidak berkaitan dengan perintah dan larangan syara’ maupun pahala dan siksa. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Syaikh Ahmad al-Tayyib, cadar hanyalah merupakan fashion yang tidak berkaitan dengan syariat.
Kesimpulannya yaitu niqab (cadar) ini sendiri merupakan sesuatu yang mubah, artinya jika seseorang ingin memakai cadar maka boleh-boleh saja dan jika seseorang tidak memakai cadar tetapi hanya menampakkan muka dan telapan tangannya saja maka ia pun tidak dihukumi dosa. Pada hakikatnya itu semua adalah pilihan karena cara kita untuk menjalankan perintah Allah itu berbeda-beda akan tetapi tujuannya tetap sama dan insyaAllah bernilai ibadah dihadapan Allah SWT.
Profil Penulis
Nama : Fariduddin Ishafahani
TTL : Bima, 26 Oktober 2000
Email : fariduddinfarid811@gmail.com
Sosmed : Instagram (@FeronMbojo)
Prodi : Ilmu Hadits
Kampus : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
[1] Mahmud Hamdi Zaqzuq, al-Niqab Adat Wa Laisa Ibadah,h. 13
[2] Imam Asya-Syafi’i, Al-Umm, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1429-1430 H/2009 M), hal. 104.
[3] Said Al-Bakri Al-Syatha, I’anahath-Thalibin, Juz III, (Semarang: Maktabah Karya Thaha Putra, tt.), hal. 113.
[4] Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Juz II, (Mesir: Mathba’ah Mushthafa muhammad, tt), hal. 112.
[5] Syekh Taqiyuddin Al-Hushni, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, tt), hal. 144.
[6] Ibnu Mundzir, al-Awsath, Juz V, (Riyadh: Dar al-Falah, tt.), hal. 53
[7] Abdullah bin Mahmud bin Maudud Al-Maushili Al-Hanafi, al-Ikhtiyar li Ta’lilal- Mukhtar, Juz IV, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.), hal. 156
[8] http://muslim or.id/6207 tentang hukum memakai cadar dalam pandangan 4 madzhab,
[9]SyaikhAddardiri, Syarah al-Kabir, vol. I, hal. 218
[10]Sa’id Ramadhan Al-Buti, IlaKulliFatatinTu’minubi Allah, (Damaskus: MaktabahalFarabi, 1975), h. 43