Oleh; Aguk Irawan Mn

Wa azzin fin naasi bil Hajji yaatuuka rijaalan wa ‘alaa kulli daamirin yaatiina min kulli fajjin ‘amiiq (Al-Hajj, 27) “(Wahai Ibrahim) serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”

Sekitar 4500 tahun yang lalu, begitu Nabi Ibrahim berhasil menyelesaikan bangunan Ka’bah, Allah langsung memeritahkan untuk memanggil umat manusia datang ke lembah tandus itu, mereka harus datang meskipun dalam keadaan berjalan kaki dan menunggang unta yang kurus.

Tetapi Ibrahim gamang dan mengajukan pertanyaan. “Wahai Tuhan, apakah suaraku akan didengar mereka? Karena lembah ini tandus dan tak ada kehidupan?” Allah berfirman, “Seru saja pada mereka, sekeras yang kau mampu.” Tak lama Ibrahim naik ke atas bukit Abi Qubais, lalu mengucapkan dengan suara yang keras.

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah benar-benar telah memerintahkan kepadamu sekalian mengunjungi rumah ini, supaya Dia memberikan kepadamu ridlah.” Maka suara itupun menggema sampai pada tulang sulbi laki-laki dan orang-orang yang telah berada dalam rahim perempuan, dengan jawaban, “Labbaika, Allahumma labbaika. Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu.”

Kemudian saat itu bayi-bayi yang dilahirkan dari suku Amaliqoh, Jurhum, Quza’ah, dan lain sebagainya melanjutkan, Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak. Ya Allah aku memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, sesungguhnya pujian dan kenikmatan hanya milik-Mu, dan kerajaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”

Meski sudah diseru sedemikian hebat, nyatanya tidak semua ditakdirkan bisa menghadirkan tubuh di hadapan Kakbah dan berada di lembah Bakah atau wukuf di Arafah, tetapi untungnya kita masih punya hati yang bisa membawa kakbah dan Arafah itu, bahkan membawanya masuk.

Hari ini saat saudara kita sedang berthawaf mengelilingi Ka’bah, tanpa mengurangi makna thawaf, kita bisa juga berthawaf ke tempat sanak saudara, tetangga, dan sahabat untuk menjalin persaudaraan yang erat atas perintah Allah, menjalin hablu minannas.

Demikian juga bila belum bisa wukuf di Arafah. Kita bisa berwukuf dimanapun untuk tafakur mencari kebenaran, hidayah, ampunan, dan ma’rifatullah. Karena wukuf itu sejatinya berhenti untuk intropeksi diri dari sifat dan sikap  kepalsuan-kepalsuan, sehingga  mengantarkan diri kita mengenal  Allah.

Begitu juga, jika kita belum mampu melempar jumroh, maka lemparlah jauh-jauh sifat kebencian dan egoisme di dalam hati kita, sehingga yang tersisa adalah kasih sayang dan kekerdilan kita di hadapan Allah.

Mabit (menginap) di Mina adalah pembuktian cinta kita kepada Allah dengan pengorbanan. Apa yang mesti kita korbankan? Tentu saja “ismail-kita”. Selain sapi, domba, kerbau, lembu, dan onta. Ismail kita adalah berhala yang mencengkram hati kita siang malam, sehingga hilang kebebasan kita untuk tunduk secara total kepada Allah.

Apakah itu pangkat, kemasyhuran, keturunan, paham, logika, tumpukan uang, deposito, mobil, sawah, hewan ternak, anak, teknologi, nafsu seksual, kekuasaan, atau lainnya?

Ismail kita adalah setiap kenikmatan yg membuat kita terlena, setiap sesuatu yang membuat kita tidak dapat mendengar dan mengetahui kebenaran, setiap sesuatu yg menjadikan kita menghindari tanggung jawab.

Ingat, setiap diri adalah ‘Ibrahim’, dan setiap Ibrahim punya ‘Isamil’. Ibrahim tidak diperintahkan Allah untuk membunuh Ismail, Ibrahim hanya diminta untuk membunuh rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail. Karena hakekat semua adalah milik Allah.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *