Oleh: Aguk Irawan Mn
Al-Syiristani, teolog besar, penulis Milal wa Nihal yang masyhur itu berpendapat, ijtihad dan berpikir kritis adalah keniscayaaan. Pendapat senada juga dilontarkan oleh ‘Abd Wahab Ibrahim dalam Al-Fikr al-Ushuli, katanya, “teks dan realita adalah sebuah proses dialektik yang tak pernah ada ujungnya”. Kenapa demikian? Karena teks terbatas, sementara realita bagaikan satu gayung air dari lautan yang tak pernah kering. Maka ijtihad dan pikiran kritis adalah jalan kewarasan.
Mengambil benang merah dari sini, maka sifat kreativitas berbeda dari orisinalitas teks. Kreativitas berangkat ke masa depan. Sementara orisinalitas teks mengacu ke masa lalu. Maka yang telah silam itu akan bisa menjadi baru, setelah ditemukan kembali dengan dialektika dan nalar kritis.
Itu berarti pemikiran atau karya sehebat apapun, entah datang dari individu, atau kelompok, bahkan pemerintah bukanlah arus sungai yang tak punya tebing dan tak pernah pasang-surut. Ia pasti punya celah, mungkin bahkan kekurangan yang berlimpah. Maka kehadiran segerombolan orang sebagai pemuja dan hanya bersorak dan tepuk tangan, maka itu akan sangat mengancam, tidak hanya bagi sebuah proses karya itu, tetapi juga pada dialektika dan akal sehat.

Meminjam istilah Imam Suyuthi dalam kitabnya Al-Radd ala Man Akhlada, pintu ijtihad dan nalar kritis adalah tugas manusia yang utama. Ia tidak boleh ditutup oleh apapun. Jika saja nalar-pemuja mencoba untuk menghentikan, maka ia sama halnya ingin menutup jalannya sebuah peradaban. Itu sebabnya Imam al-Razi dalam al-Mahsul mengingatkan, salah-satu tanda besar kehancuran dari sebuah peradaban itu dikarenakan ramainya orang hanya bertepuk tangan, dan ada di tengah masyarakat hanya sebagai pemuja. Lalu terjadilah apa yang orang katakan dengan stagnasi nalar dan kreatifitas.
Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran, bahwa kritik adalah bagian dari ijtihad untuk membangun peradaban, dan sebaliknya memilih jalan pemuja sama halnya orang akan menghadang jalannya peradaban. Karena, apapun nyatanya akan selalu ada celah yang bisa diberi masukan bersama, seperti sebuah kertas yang seputih apapun, masih akan ditemukan setitik noda. Dari cara pandang untuk lebih fokus pada mungkin setitik noda inilah ijtihad atau kreativitas akan terus lahir. Wallahu’alam.