Daftar Isi: [Sembunyikan] [Tampilkan]
Oleh: Afin Nur Fariha

Keping ke dua: Jalan Pusaka Seorang Penulis

Perjalanan menemukan format tulisan, bagi saya merupakan perjalanan panjang perihal  menemukan diri, juga perjalanan menemukan keyakinan. Begitu kuat keterhubungan antar ketiganya. Seperti mata rantai atau mata rotasi dimana antara satu dan yang lain saling menjadi  kail pengikat yang tanpa salah satunya tak bisa bergerak. Ya, antara tulisan, diri dan keyakinan. Sebab, bagaimana pun juga proses menulis tak bisa kita lepaskan dari proses penempuhan pengalaman batin seseorang.

Satu dilematis seorang yang hendak menulis adalah persoalan keyakinan bukan? Sebab, ketidakyakinan sering kali menghambat untuk menerbitkan, melanjutkan bahkan memulai suatu tulisan. Hingga itu, perjalanan menemukan keyakinan, sampai kini belum menjadi perkara yang mudah bagi saya. Padahal keyakinan memberikan keberanian serta keteguhan. Bila keyakinan itu tidak ada, maka apa yang masih bisa terharapkan yang disusul setelahnya? Mmm…

Jika  mengingat jejak-jejak yang telah dianugerahkan Tuhan selama 26 tahun ini, saya berkaca, bahwa satu keyakinan itu terbentuk seiring waktu juga ruang gerak yang membentuk kesadaran diri. Saya merasa betapa pentingnya peran ruang komunitas, lingkaran atau jamaah dalam membentuk keyakinan serta isi tulisan bagi seorang penulis.

Lingkaran, komunitas maupun jamaah adalah sungai ilmu yang terus menerus memberikan isi serta memperbarui pengetahuan setiap anggotanya yang tengah mendayung. Mengantarkan pada arus panjang meniti perjalanan jiwanya dalam laku kepenulisan. Terasa tulisan saya selalu berganti-ganti perihal isi, isu dan wacana yang dibawa, seiring dengan perpindahan ruang gerak saya. Sebab, ruang gerak adalah sumber yang paling banyak menyumbangkan cara pandang dan kesadaran.

Perihal ini, saya teringat perkataan Bapak Nur Kholiq Ridwan suatu malam saat berkunjung ke Baitul Kilmah. Di ujung perjumpaan dengan beliau, kawan saya, Mas Aqib yang kesehariannya begitu gigih menulis, bertanya perihal kendala yang ia hadapi saat sedang menulis terjemahan. Jawaban yang saya catat dari Pak Nur Kholiq adalah, “kenali siapa kita juga kenali maqom kita. Tapi kalau anak muda harus berani. Enggak apa-apa kalau kelak saat kita tua, lalu membaca tulisan saat ini, akan malu-malu. Tapi enggak masalah kan? Proses itu harus dilalui! Setiap proses menguraikan tidak ada yang sempurna. Harus berani dicela.”

Kemudian beliau menambahkan, “Jangan bertujuan menyenangkan orang dengan menulis. Tapi lakukan itu dengan ikhlas. Jangan sampai jera untuk menulis. Jika menulis itu ditekuni, saya yakin akan memberkahi hidup kita.”

Begitu kiranya sepotong percakapan yang saya catat. Beberapa hari sebelumnya, kami menjalani kelas menulis. Minggu sore itu menjadi pertama kalinya saya mengikuti Kelas Novel bersama Bapak Pengasuh Baitul Kilmah; Kyai Haji Aguk Irawan M.N. Kami melingkar di pendapa. Dari tempat duduk, saya dapat melihat pemandangan di luar. Pepohonan jati terguyur mega senja. Perpaduan warna yang sangat indah.  Berjajar batang-batangnya tegak kecokelatan. Sedikit ke atas, hijau dedaunan menyempul, yang pucuk-pucuknya terguyur cahaya orange.

Angin sore sepoi menyapa tubuh, sejuk, wangi dan meneduhkan jiwa. Saya bersila di samping Mbak Ilmalya dan Mbak Elisa. Dalam hati terapalkan doa, “karuniakanlah kami pemahaman, yang dengannya kami dapat mengetahui bagaimana kami bermunajat kepada Mu Wahai Dzat Yang Paling Pengasih.”

Sore ini memang menjadi sore yang cukup saya nantikan. Saya penasaran seperti apa Kelas Menulis Baitul Kilmah. Dan berderet pertanyaan telah ada dalam hati, mengenai bagaimana dinamikanya, materinya juga milestonenya. Saya khusuk mencatat dan mendengar. Beliau nampak santai dan humoris, kalimat-kalimatnya banyak mengundang kami tertawa. Tentu pertanyaan saya tadi lenyap. Jika tentang materi dan milestone kepenulisan bukankah ini bisa saya dapat dari mana-mana.

Di majelis ini, saya merasa menemukan satu kunci alternatif dalam menulis. Semacam tawaran jalan pusaka bagi seorang penulis. Tidak perihal teknik-teknik menulis, tapi bagaimana teknik menulis tersebut menjadi hasil eksplorasi diri. Dimana merupakan perwujudan dari gerak kesadaran yang ada di dalam.

Pemahaman saya bergeser. Tak lagi perihal kerapian huruf-huruf yang wujudnya bisa kita lihat dengan kedua mata, rimanya bisa kita dengar dengan kedua telinga dan isinya terpahami pada logika dan perasaan. Tapi lebih dari itu. Di forum ini saya mendapat pengetahuan baru, bagaimana ruh sebuah tulisan disemai. Hati saya bergetar, segala puji bagi Mu, Tuhan Yang Maha Mengetahui segala yang nampak maupun yang sir (rahasia).

Gambar: Kegiatan Diskusi Karya di Baitul Kilmah

Dahulu sewaktu saya belajar di persma maupun di ruang kepenulisan yang lain, sesuatu yang sir itu diracik dalam balutan analisa framing, analisa wacana, politik media, ideologi tulisan maupun keberpihakan. Tapi di Kelas Menulis Baitul Kilmah ini, saya terbuka kan satu pengetahuan baru yang membuat hati saya bahagia. Bahwa sesuatu yang sir, yang rahasia, yang menggerakkan arah tulisan adalah lebih dalam, lebih dasar, lebih universal, dan lebih absurd dari batas-batas framming, wacana, keberpihakan dan lain-lain. Ruh dari perwujudan suatu tulisan adalah bagaimana suara hati bisa kita dengar, dimana kita bisa tajam mendengarnya lewat latihan menata diri. Ya, menata tidak hanya perihal meracik-racik kerapian, tapi juga perihal jalan mencapai harmoni.

Di kelas sore itu, saya tak mendengar materi-materi kepenulisan yang biasa saya dengar. Saya justru mencatat tentang tiga point langkah praktis yang perlu dilakukan seseorang sebelum menulis.

Pertama adalah mengenai kesadaran untuk bersih-bersih, sebab kotor akan menutup hati. Bersih lingkungan akan mengantarkan pada bersih hati, bersih pikiran, lapang jiwa sehingga energi positif turut hadir. Aset seorang penulis, kata beliau, tidak hanya perihal pengetahuan, referensi, relasi ataupun estetika, namun juga perihal energi.

Dan apa yang beliau katakan serasa pas dengan apa yang biasa saya lakukan sebelum khusuk di depan laptop. Ritual bersih-bersih itu sangat berpengaruh dalam membantu konsentrasi. Sebab, serasa ada beban kepala yang perlu saya letakkan sebelum merangkai huruf-huruf. Lalu beban tersebut  menjadi terurai  ketika setidaknya tempat bertapa dan raga dalam menyambut prosesi menulis telah bersih.

Mmm dari pengalaman-pengalaman yang belum seberapa, tapi saya merasa menulis memang sebuah aktivitas keanehan. Bagaimana prosesi mempersiapkannya justru jauh memerlukan lebih banyak waktu dan energi ketimbang saat merangkai kata-katanya. Sebab, kadang tanpa terasa, dalam waktu yang satu jam atau dua jam, ide terus berhamburan mengetuk diri kita untuk segera mewujudkannya.

Atau kadang, saat hati dan pikiran kita belum siap dan belum tertata, kita duduk berlama-lama, namun kata-kata tak kunjung menghampir. Dengan hal ini, saya teringat seorang sahabat hati yang selalu setia memberi semangat dalam menulis, hal yang sering ia ucap, ” gak apa-apa lama, menulis kan juga perihal bagaimana persiapan kita dalam menerima moment-moment intuitif.” Kata-kata itu selalu menjadi penguat diri.

Point ke dua yang saya catat dari kelas menulis Minggu sore, adalah agar kami tertib sholat lima waktu. Mungkin dulu, ketika saya berapi belajar filsafat rasionalis, saya akan mempertanyakan apa kaitannya menulis dengan sholat. Dan di fase yang kini, saya telah melewati moment untuk mengosongkan hal-hal tersebut.

Berkata Bapak Kyai Aguk, “jika mau sholat lima waktu, Allah pasti akan menata kita, mau jadi apapun pasti akan ditata oleh Allah, karena sholat itu timbangan. Kalau kita menghargai yang kecil-kecil, Allah akan memperhatikan kita yang lebih besar.”

Dari apa yang dihaturkannya, saya mulai merenung, nampaknya menulis tak hanya sekedar jalan hidup, hobi, dorongan hati, tapi juga perihal keimanan. Saya pun berkaca, betapa hati ini masih bodoh juga lemah dari keimanan. Namun kepada Tuhan Yang Menjaga, kami memohon penjagaan dalam iman, Wahai Yang Menguasai hati kami.

Di bawah hamparan langit yang meganya kian menyala, saya mengingat ulang, ada moment ketika saya merasa, hidup yang semestinya begitu indah, bersama kanak-kanak dengan energi mereka yang amat suci, tulus dan ceria, saya justru merasa kosong, gelap dan buta. Tak mampu melihat keindahan yang mengelilingi saya. Adakah benar, kembali mencari ruang yang menumbuhkan jiwa  untuk menulis merupakan panggilan dari hati saya? Bukankah semestinya kita melakukan apa saja berdasarkan panggilan hati. Hati yang hanya dengan Kuasa Nya bertitah menuntun pada kejujuran. Dan saya pun masih sangat tertatih memilah dan membedakan antara ego dan kejujuran.

Tapi di tengah lamunan itu, saya mulai tersadarkan oleh apa yang Bapak Kyai kami nasihatkan selanjutnya. Beliau berkata, “Jangan sampai di sini habis waktu, Senin, Selasa, Rabu menuju liang lahat. Semoga menulis tidak hanya menjadi nilai individu bagi kita, tapi juga sosial. Ketika hidup tidak memiliki kesadaran tentang memikirkan amal jariyah, maka rutinitas-rutinitas kita akan berputar di situ saja, tidak berjalan vertikal menuju kepada Nya.”

Saya mengambil jeda, mengendapkan dan merefleksikan hal-hal yang bapak kyai kami nasihatkan. Sembari memandang keluar, terlihat bentangan rona mega itu telah tersapu oleh hitam. Tapi cahaya rembulan yang muncul tipis, mulai menjadi penerang. Adzan magrib berkumandang dari masjid desa. Kami hening mendengar larik-larik panggilan-Nya. Hati saya terharu, mengapa menjadi serohani ini perihal tulis menulis?

 

Pertautan Menulis dengan Ibadah Hati

Referensi kedua saya di Baitul Kilmah tentang proses kreatif menulis adalah bagaimana pertautan menulis dengan Ibadah hati. Saat itu, seperti Senin malam biasanya, kami membelah rimbun pohon jati menuju SMK Peradaban Desa yang di sampingnya berdiri sebuah masjid. Di tempat ini lah biasa kami mengaji Minhajul Abidin. Kitab terakhir yang dikarang  Imam Al Ghozali sebelum beliau wafat.

Kelak, akan menjadi moment yang saya kenang, bagaimana masa muda saya bersama teman-teman berangkat mengaji menyusuri setapak yang diapit pepohonan jati. Bulan cantik menggantung menyaksikan kami berjalan mengular menuju Masjid Al Qolam.

Di dalam masjid, teman-teman dari IAIN Tulunggagung telah melingkar. Ramah, mereka memberi senyum. Ada bahagia, kami memiliki lebih banyak teman dalam mengaji. Pertanda ada lebih banyak semangat dalam majelis ini. Malam itu kami mengaji tentang tiga ilmu yang wajib dicari bagi seorang Muslim dalam kitab Minhajul Abidin. Ilmu tauhid yang meliputi empat hal, kemudian ilmu sir (rahasia) ilmu hati dan ilmu syariat. Betapa saya selalu merasa menjadi muda berkumpul dengan jiwa-jiwa yang bersemangat menimba ilmu. Saya sapu pandang semua yang ada di dalam masjid. Berderet almamater hijau anggun digunakan oleh teman-teman dari IAIN Tulunggangung.

Ingatan saya terlempar pada perjalanan empat tahun lalu. Tahun ketika saya menunaikan KKN, saat itu sedang di fase bergolak mencari diri. Mengingat jalan itu, ingat pula saya akan perkataan Mbak Latifah.  Bagaimana ia menceritakan pergulatan dan dinamika teman-temannya saat di fase pencarian jati diri. Satu hal yang saya tulis, Mbak Latifah berkata, “tidak sesederhana sekedar eksplorasi satu identitas ke identitas lain. Pencarian jati diri itu pertaruhannya hidup dan mati.”

Ya, dua kalimat yang menepuk hati saya. Sebab, daya akan kalimat tersebut memberi makna pada jejak pergelutan kala berapi-apinya mencari diri. Penuh jebakan, penuh rasa, penuh makna untuk memilah pada kesejatian. Yang kala itu, bahkan tergambar jelas dalam laku-laku, bahwa saya masih sangat jauh dan absurd tentang pemahaman akan kesejatian. Saya tak punya definisi tentang itu dan bagaimana saya terseok pada setiap gerak impulsifnya.

“Setiap yang membuat kita tidak nyaman, kacau balau, rusak, hancur, maka wajib bagi kita mencari ilmu. Ilmu sir, ilmu yang mengetahui kerja hati. Hati ada kerjanya, yaitu dengan mengurai dan mengamalkan larangan-larangan pun perintah-perintah hati. Itu lah ilmu yang membahas makrifatnya sifat-sifat tercela dan terpuji pada hati. Hati punya amalan-amalan dimana mengantarkan ibadah kita sampai kepada-Nya. Mencintai, merindu, menjaga jiwa pada keyakinan, pada keihlasan itu semua kerja hati bukan?” berkata Bapak Kyai kepada kami.

Disusul beliau bercerita tentang beberapa novel yang ditulisnya, dan beberapanya saya telah membaca. Bagaimana novel menjadi media perwujudan simbol-simbol kerja hati seorang hamba. Dengan berbagai pergulatan, benturan keadaan dan tantangan yang ada, untuk mencari, berjalan dan menuju kesejatian di setiap stasiun-stasiun perjalanan jiwa. Bagaimana benturan keadaan menjelma kasih sayang Nya dan menjadi jalan bagi seorang hamba untuk mengenal dan menerima qodratullah.

Setelah menerjemahkan kata demi kata dalam kitab, beliau merangkaikan maknanya untuk kami. Kami menyimak. Beliau berkata, “Hidup akan terus ada. Yang kekal itu kita yang fana itu waktu. Dunia ini akan fana sementara manusia tidak. Kita abadi dalam ruang dan waktu yang akan hancur. Kita tidak diciptakan untuk hancur atau fana dan sesungguhnya kita ini hanya terpindahkan. Tugas manusia adalah mencari dirinya yang tidak beruang dan berwaktu lewat tangga-tangga kesejatian di antara samudera warna-warni kefanaan.” Bait penutup yang beliau aturkan kepada kami pada mengaji Minhajul Abidin malam ini.

Seperti biasa, setelah mengaji kami siap-siap melaksanakan jamaah sholat isya. Jelita kecil berusia sekitar dua tahun, dengan penuh kepolosan yang ia miliki menghampiri kami. Kehadirannya yang spontan mengejutkan kami. Tapi, si kecil itu begitu tulus memberikan tawa, keriangan dan keakraban. Kami menjadi tersirap dengan kelucuan dan keriangan yang ia berikan, sebelum kedua orang tuanya yang menunggu di serambi masjid memanggilnya, “Nduk…” Jelita itu berlari memeluk orang tuanya.

Saya bergegas memakai mukena. Dalam balutan mukena itu, ada yang saya tanyakan kepada hati saya, Mengapa jiwa ini tidak pernah yakin dengan tulisan-tulisan yang telah dibuat? Padahal semestinya saya tahu, bahwa lewat tulisan itu lah yang mengantarkan jalan-jalan pengembaraan saya. Yang membuat saya terus bergerak!

Bismillahirohmanirohim, jika saya temui cinta pada jalan menulis, semoga cinta itu juga menjadi jalan untuk mempertebal keyakinan. Kepada siapa saja yang telah banyak menyumbangkan pengalaman batin untuk saya, saya ucapkan terima kasih. Rajutan Fatihah dari hati kepada orang tua, semua guru, handai tauladan, juga semua yang kami cintai dan semua yang mencintai kami, kepada orang-orang yang berjasa baik kepada kami juga kepada orang-orang yang telah masuk pada lingkaran kasih sayang kami. Terima kasih untuk banyak menyumbangkan segenap ketulusan dalam mengiring perjalanan dan kesadaran saya.

                                                                                                                 Sepenuh hormat,

                                                                                                                  Pajangan 06 Juli 2022

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *