Oleh: Aguk Irawan MN

Benar kata Kanjeng Nabi; ibumu, ibumu, lalu ibumu. Sehari wafatnya ibu, teringat dua kenangan dan pelajaran berharga masa kecil yang sulit terlupakan.

Sebagai single parent, ibu tergolong ‘ubet‘ mencari rezeki. Saat itu, mungkin saya kelas 1 Madrasah. Seperti biasanya, kadang sambil sekolah ibu menitipkan dagangannya, kali itu adalah pisang rebus yang amat banyak. Sampai saya keberatan membawanya. Pisang rebus itupun saya titipkan ke lapak penjual yang biasa mangkal dan saya masuk kelas. Begitu jam istirahat datang, saya menunggu dagangan. Tetapi sampai bel berbunyi lagi tidak ada satupun dagangan titipan ibu yang laku.

Di dalam kelas, saat itu saya sempat menangis, karena peristiwa ini. Pelajaran Ini-Ibu-Budi tak menarik lagi buatku. Begitu waktu pulang sekolah tiba, ibu menyusulku ke sekolah, dan melihat dagangannya masih utuh, anehnya sama sekali tidak memperlihatkan kecewanya. Beliau bahkan terlihat tersenyum, sambil membagi-bagikan secara gratis pisang itu pada teman-temanku.

Saat saya terlihat sedih dan menangis, beliau mengangkat tubuhku yang mungil itu sambil menghiburku, yang lamat-lamat kuingat begini.

“Tidak setiap dagangan harus jadi duit, anakku.”

Sambil menyeka air mata dan suara terbata-bata, saya beranikan bertanya.

“Bukannya emak butuh duit?”

“Tentu saja, butuh.”

“Jadi, kenapa emak bagi-bagikan?”

“Karena pisang rebus ini sesungguhnya punya Allah, tumbuh sendiri di ladang. Emak tidak menanamnya.”

“Tapi emak kan butuh duit?”

“Yang penting emak sudah berusaha. Kalau hari ini pisang belum laku itu berarti rezeki yang sampai pada kita hanya titipan untuk merebusnya saja, dan ini adalah kesempatan kita untuk bisa berbagi lebih banyak lagi….”

Hal yang sama, saat kecil kami punya kambing jantan yang besar, dan itu hasil kita merawat sendiri sejak bayi, saat dikembalakan di lapangan, kambing itu sering dibuat mainan teman sebayaku, gantian kita naik di pundaknya.

Hingga cukup umur untuk dijual, saat itu ibu memilih untuk dibawa ke Masjid dan jadi hewan korban Idhul Adha.

Saat kambing diberi kalungan bunga-bunga, dan ibu meminta saya mengantar kambing kesayangan ini ke pelataran Masjid, perasaan kecil saya tak sanggup dan hanya menangis sesunggukan di atas dipan. Lalu seperti biasa, ibu mendekatiku dan berkata pelan.

“Kambing yang dikorbankan itu tidak mati, anakku, tapi dia masih hidup, bahkan hidup selamanya di dalam surga, dan dia menunggu kita pemiliknya…”

Wallahu’lam. Alfatihah buat almarhumah…

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *