Oleh: Aguk Irawan MN*

Negara-negara yang beradab dan maju menjunjung tinggi kepatuhan pada hukum yang berlaku di negaranya, dan tidak pernah mangkir dari proses hukum. Ini penting dicontoh oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, terutama dalam kasus Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Mardani H. Maming.

Maka sudah selayaknya beliau mundur atau dinonaktifkan sejak masih patut diduga, jauh sebelum berstatus tersangka, bahkan DPO olek KPK. Sepatutnya tidak perlu juga ada pembelaan apapun terhadap pengusaha muda asal Kalimantan tersebut. Lebih-lebih dari PBNU, Ormas yang selama ini menjadi garda terdepan penjaga moral.

Kenapa tidak perlu dan bisa membuat malu, jika terus mempertahankannya? Sekelumit kisah ini bisa menjadi takaran. Tahun 2021 silam, Perdana Menteri New South Wales, Australia, Gladys Berejiklian, mengundurkan diri setelah diduga terlibat menciderai kepercayaan publik karena kasus korupsi.

Masih hangat dibulan Juli 2022 ini, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson (Bojo), juga mengumumkan pemunduran dirinya, setelah digugat oleh elite papan atas dalam pemerintahannya. Sebelumnya, John Penrose (Tsar Anti-korupsi Pemerintahan Boris Johnson) juga mengundurkan diri, sekaligus meminta Bojo mengundurkan diri juga.

Negara-negara maju telah memberikan contoh bagaimana etika politik harus dijalankan. Figur publik yang telah mencoreng kepercayaan publik, ia harus mengundurkan dirinya. Tetapi, apa yang dicontohkan oleh elite-elite PBNU belum mencerminkan sebagai figur profesional, modern, dan sesuai dengan perilaku politik dari negara-negara beradab lainnya.

Sekalipun Bendahara Umum (Bendum) PBNU, Mardani H. Maming, masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), karena kasus korupsi, ia masih enggan mengundurkan diri dari posisinya. Belum lagi, Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, yang juga masih mempertahankannya.

Joseph Pozsgai-Alvarez (2021) dalam bukunya berjudul “The Politics of Anti-Corruption Agencies in Latin America” menghubungkan seruan pengunduran diri ini sebagai bagian dari demokrasi. Dengan mencontohkan kasus Pengumuman La Linea atau yang dikenal Musim Semi Guatamela, Joseph Pozsgai-Alvarez menggambarkan semangat demokrasi masyarakat yang secara terbuka menuntut pengunduran diri dua eksekutif puncak di negaranya.

Dengan kata lain, demi mempertahankan demokrasi di negara ini, rakyat pantas menyeru pemunduran diri para elite yang menciderai kepercayaan publik, termasuk Mardani H. Maming. Tentu saja, elite-elite PBNU seakan-akan mendorong perilaku taat hukum. Misalnya, Ketua PBNU Bidang Hukum, Pendidikan dan Media, Moh. Syafi’ Alielha, mendorong agar Mardani H. Maming patuh dan mengikuti proses hukum yang ada. Atau, sebut Savic Ali (Ketua PBNU), yang juga berharap Mardani Maming agar mengikuti proses hukum. Namun, semua harapan ini adalah harapan ironis. Mengingat gestur yang ditunjukkan oleh Gus Yahya dan para elite NU lainnya sepertinya lebih cenderung ‘membela’ Mardani Maming.

Ironi semacam ini mengingatkan pada keinginan Boris Johnson, yang setelah mengundurkan diri dari jabatan Ketua Partai Konservatif, ia masih enggan mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri Ingris. Namun, George Freeman, Anggota Parlemen Ingris sekaligus politisi Partai Konservatif, mengatakan bahwa hal itu akan menyulitkan bagi semuanya untuk melihat Boris Johnson masih memimpin selama tiga bulan ke depan (abcnews, 08/7/2022).

Artinya, figur publik yang sudah merusak kepercayaan publik memang seharusnya sudah mengundurkan diri. Borish Johnson, jika tidak segera mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri, maka ia dikhawatirkan oleh para politisi Partai Konservatif menyalahgunakan kekuasaan, terkait penggantinya nanti.

Ini juga hampir sama dengan Mardani H. Maming, bila ia tetap enggan melepas jabatannya sebagai Bendum PBNU, kekhawatiran akan menyalahgunakan kekuasaan selama menjalani proses hukum terbuka lebar. Siapapun yang sedang terjerat masalah hukum dan menodai kepercayaan publik, sudah seharusnya ia melepaskan posisi apapun yang sudah diamanahi oleh publik.

Pandangan Savic Ali dan Moh. Syafi’ Alielha sebagai elite-elite PBNU tidak masuk akal, jika mendorong Mardani Maming taat pada proses hukum yang berjalan, sementara mereka enggan mencopot jabatan tersangka kasus korupsi tersebut. Posisi struktural yang bermuatan “politis” tersebut (Bendum PBNU) harus ditanggalkan lebih dahulu, supaya proses hukum yang dilakukan oleh aparat terlepas dari segala jenis bias kepentingan. Sejatinya, kata kuncinya di sini adalah menjauhkan bias kekuasaan dari proses hukum.

Persoalan hukum dan kekuasaan adalah dua hal yang memang harus dipisahkan, terutama bagi kita sebagai negara yang menganut sistem trias politik. Kekuasaan eksekutif adalah ranah berbeda dari kekuasaan Yudikatif. Tentu saja, NU bukan bagian dari sistem pemerintahan, tetapi orang-orang NU banyak yang berada di kekuasaan. Jika Mardani Maming enggan melepas jabatannya sebagai Bendum PBNU, maka akses ke dalam kekuasaan politis di pemerintahan (eksekutif) sangat besar untuk mempengaruhi proses hukum di ranah Yudikatif.

 

 

Gestur PBNU hari ini, maaf– terlihat seperti jungkir balik. Gus Yahya sejak awal tidak ingin membawa NU ke ranah politik kekuasaan. Tetapi anehnya, ketika salah satu pengurus harian tersandung masalah korupsi, ia terkesan tampil bagai politisi ulung, yang mengulur-ulur waktu untuk menyusun kekuatan, dan membela tersangka dengan kekuatan yang dimilikinya. Kesan penulis seperti ini mudah-mudahan salah.

Dalam medan pertempuran, waktu adalah senjata yang berbahaya. Kekuatan yang lebih besar bisa dikumpulkan jika waktunya mencukupi. Ini yang jangan sampai terjadi, lalu dengan segala daya upaya, Mardani Maming bebas dari jeratan hukum. Berbeda halnya jika PBNU sudah memberhentikan Mardani Maming dari jabatannya, sehingga ia bisa fokus menjalani proses hukum, sebagaimana disuarakan oleh kiyai-kiyai NU kultural maupun struktural misal dari PWNU Jakarta dan Jatim.

            Dengan memberhentikan Maming, PBNU telah menutup “pintu”, sehingga opini publik tidak sampai memiliki pikiran PBNU ikut campur dalam proses hukum. Jika sampai Mardani Maming dalam statusnya DPO dan masih sebagai Bendum PBNU, maka citra PBNU ‘membela’ seorang koruptor akan menjadi sejarah buruk selamanya.

Tentu yang membuat kita sangat bersedih adalah tercorengnya marwah NU, organisasi yang publik tahu, didirikan oleh kumpulan para wali, lali diteruskan oleh ulama dan santri. Efek domino lainnya adalah kyai-kyai kampung yang akan menjadi bulan-bulanan jamaah dan jam’iyah sebelah. Wallahu’alam Bishawab[]

 

*Warga NU Kultural, tinggal di Yogyakarta.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *