Oleh: Aguk Irawan MN
Al-kisah, saat Sang Kalifah dinasti Abbasiyah; Abu Ja’far al-Manshur sedang kondisi galau, seperti biasanya dia selalu mengundang sahabat sekaligus guru spiritualnya untuk memberi petuah. Ia adalah Muqotil bin Sulaiman.
Pada suatu malam yang ditentukan, Muqotil ternyata datang terlambat. Padahal jamuan makan telah disiapkan sedemikian rupa oleh pihak istana. Sembari menunggu Muqotil, kebetulan wajah Sang Kalifah, diganggu oleh lalat yang berterbangan ke arahnya. Kendati, pembantu istana sudah berusaha keras mengusirnya, tapi lalat itu masih mengitarinya, hingga sebentar-bentar hinggap di pipi, hidung, dan kening Sang Kalifah.
Kemudian datanglah Muqotil dalam jamuan itu, belum juga duduk, Sang sufi itu langsung disergap oleh pertanyaan. “Wahai Muqotil, engkau tahu kenapa lalat bangsat ini masih berada di sini?” Tanpa pikir panjang dan beban Muqotil menjawab.” Tuan Kalifah, mungkin itu cara Allah menunjukkan, bahwa disetiap perjuangan dan amanah ada lalat-lalat bangsat yang berada di meja makan kita.”
Mendengar jawaban itu Kalifah langsung kaget, dan balik bertanya, “Apa maksudmu, wahai Muqotil?” Muqotil menjawab. “Tiap kita diberi kepekaan rasa oleh Allah, semoga yang mulia menjaga kepekaan rasa itu, sehingga tahu siapa lalat yang bangsat itu. Sungguh kepekaan rasa tidak pernah didapati dari hati yang pongah.”
Demikian kisah yang ditulis oleh Abu Hayyan dalam bukunya al-Imta’ wa al-Muanasah. Sang penulis ingin mengingatkan, siapa saja yang mengemban amanah atau menjabat di pemerintahan atau organisasi tertentu akan sulit menghindar dari praktik kolusi, korupsi dan nepotisme, sebagai penghancur utama peradaban.
Karenanya dalam panggung sejarah, bagi yang mengambil hikmah dari kisah ini, jika hatinya masih ada kepekaan rasa, tak ada tempat bagi koruptor, karena ia adalah lalat yang mengotori perjuangan umat manusia. Dengan begitu ketokohan seorang pemimpin akan diuji bagaimana sikapnya pada Sang Peleceh Paradaban. Sebab, sikap tokoh atau pejabat tertentu menjadi salah satu sumber pengetahuan manusia yang representatif pada generasi berikutnya.
Satu dari sekian sejarah bangsa ini yang kita patut berbangga sebagai bangsa Indonesia adalah kita mewarisi sejarah yang ditampilkan penguasa pada kasus korupsi sedemikian ketat. Pertama datang dari masa lalu kerajaan Kalingga pada abad 7 dan Kerajaan Demak pada Abad 14.
Saat Ratu Shima bertakhta di Kerajaan Kalingga. Suatu kala, seorang pelancong sengaja menaruh sekantong emas di samping gerbang istana. Berhari-hari tak ada yang berani menyentuh kantong itu, hingga suatu ketika Pangeran Narayana, putera kesayangan Ratu Shima itu diduga yang memindahkan emas itu dari samping gerbang ke suatu tempat yang lebih aman.
Begitu pelancong mengumumkan kehilangan. kantong itu dan Sang Pangeran yang terduga mengambil itu kemudian mengaku hanya memindahkan di tempat yang lebih aman saja, dan tidak sebagaimana tuduhan, meski begitu, Sang Pangeran tetap mengundurkan diri dari posisinya sebagai putra mahkota.
Apakah cukup sampai disitu? Disinilah ketegasan Ratu Shima diuji. Padahal Sang Putera Mahkota hanya memindahkan sekantong emas tersebut di tempat yang lebih aman. Namun hukum tetaplah hukum yang harus ditegakkan. Sekalipun hanya memindahkan, Pangeran Narayana dihukum dengan dipotong tangannya. Demikian kisah yang tersaji dalam kitab Mānavadharmaśāstra, Arthaśāstra, Nītiśāstra, dan Mānawaśāstra aksara kawi yang turut mewarnai proses penulisan teks hukum di Nusantara masa silam.
Kisah lain datang dari kerajan Islam Demak Bintoro. Demi penegakan hukum, Sang Raja, Raden Patah menulis kitab hukum perdana dan perdata “Angger-Angger Suryangalam”, yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, prinsip keadilan, dan terwujudnya keselarasan hubungan antara manusia dan bumi yang dipijak.
Suatu ketika, putra mahkota, Raden Arya Trenggono,yang kala itu masih bertugas sebagai jaksa kerajaan, tertuduh menerima suap dari saudagar kaya untuk kepentingannya. Meski dugaan ini akhirnya tak terbukti di Pengadilan, Sang Pangeran terlebih dulu menunjukkan sikap kesatrianya berani mengundurkan diri dari posisi putra mahkota, demi menjaga marwah kerajaan.
Kitab pidana Suryangalam memuat hukuman mati atau potong tangan bagi siapapun yang terbukti secara sah melakukan tindak kejahatan korupsi (maling pamata dan maling kara). Kitab yang ditulis pada tahun 1501 M., ini masih digunakan pada masa Kerajaan Islam Pajang dan Mataram Islam sampai abad 18 dan kitabnya masih tersimpan di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Wallahu’alam Bishawab.
Kereta Api Jakarta-Yogya, 3 Agustus 2022.
Selamat Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur