Oleh : Aguk Irawan MN

Ketika masih jadi santri kelana di Mesir dulu, beberapa kali beliau diundang acara Mahasiswa, tetapi sebagai yunior, saya tak punya kesempatan untuk kenal dan ngobrol atau diskusi walau sebentar dengan almarhum Prof Azyumardi Azra. Tetapi kesan saya setelah mendengar beliau bicara, bacaannya sangat luas, dengan pembawaan yang santai.

Setalah sekian lama melihat almarhum di TV atau membaca artikel-artikelnya di belbagai media, terutama Harian Kompas, alhamdulillah melalui Badan Wakaf UII, sekitar tahun 2016 yang saat itu dengan posisi sama-sama sebagai nara sumber, membuat saya agak PD mengenalkan diri dan diskusi dengan beliau menjalang acara di ruang transit. Saat itu temanya adalah Praktek Seni dalam (Sejarah) Islam.

Sambil bincang-bincang santai, lagi-lagi saya mengutarakan kekaguman terhadap buku Jaringan Ulama yang masyhur itu. Tetapi rupanya, nampak beliau tak ingin saya puji berlebihan, lalu diskusi berlanjut keprihal tema seminar. Tak menyangka beliau memberi apresiasi kepada saya, katanya, “Anda beruntung sebagai budayawan yang punya latar belakang santri dan kuliah di Al-Azhar.”

Tidak cukup sampai disitu, menjelang berpisah almarhum meminta makalah yang saya tulis acak-kadut ini. Belakangan makalah ini dimuat di Jurnal IJIIS. Ini adalah Jurnal internasional pertama yang pernah memuat tulisan saya. Ternyata ini juga atas rekomendasi almarhum.

Sungguh tak menyangka, dibalik kebesaran namanya, beliau begitu mudah empati dan memberi apresiasi pada orang kecil macam saya yang baru dikenalnya ini. Pertemuan berikutnya kita diberi fasilitas oleh UI Jakarta pada momen Ramadhan Seni di gedung Makarta Art Center, 21 April 2021, dengan tema Pedoman Seni Islam, Perspektif Sejarah.

Seperti saat pertamuan di UII, sayapun membincang lagi bukunya yang keren itu, Jaringan Ulama, tapi kali ini saya memberanikan diri sedikit mengkritik, saya bilang ini buku luar biasa data-datanya, tapi sayangnya tidak memasukkan jaringan Walisongo, terutama jaringan global dan dunia Syaikh Jumadil Kubro, yang jauh lebih dulu sebelum as-Singkeli. Tak menyangka beliau yang alim itu merespon dengan rendah hati, katanya, karena keterbatasan data, dan beliu berjanji jika menumakan data pasti akan menambahnya.

Pertemuan terakhir adalah via zoom pada seminar Pasca Sarjana program bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah 16 Juni 2022 yang lalu dengan tema Religiusitas Sastra. Kekagamun saya bertambah, ketika beliau menyampaikan materi, bebarapa kali mengapresiasi apa yang sudah saya sampaikan sebelumnya dengan alakadarnya.

Kenapa saya sering menyebut buku Jaringan Ulama? Karena buku ini bagi saya sangat mengesankan. Almarhum berhasil membuka wawasan kita tentang jaringan ulama di Timur Tengah dan kepulauan Nusantara yang kemunculannya pada abad 17 dan 18 dengan data-data yang meyakinkan.

Sebelum buku ini di terbitkan, sepengetahuan saya, belum pernah ada buku kajian yang serius menjelaskan secara komprehensif jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara. Meskipun terdapat kajian – kajian penting tentang beberapa tokoh ulama Melayu – Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18, tetapi tak banyak yang mengkaji secara kritis sumber–sumber primer karya mereka, pemikiran, dan khususnya tentang bagaimana jaringan ulama yang ada, dengan tradisi intertekstualitas dan bagaimana gagasan yang di sebarkan itu membentuk perjalanan sejarah Islam di Nusantara.

Memang ada beberapa buku penting yang sudah mengarah kesitu seperti Sayid Alwi bin Tahir al-Hadad, “Madkhal ila Tarikh al Islam Fi as Syarq al Aqsha.” (Jeddah, Alam Al-Ma’rifah, 1985), Lalu RO. Winsted, “The Advent of Muhammadism in the Malay Penunsila and Archepelago.” Jurnal of The Royal Asatic Soceity, Vol 77, 12 1977. Atau G.W.J Drews “New Light on the Coming of Islam to Indonesia?” ( Volkande BKI, Vol 124). Kesemua buku itu sayang hanya banyak membahas teori islamisasi awal dengan tokoh-tokohnya, tidak membahas mendalam pemikiran dan jaringan globalnya.

Lalu ada juga buku lain yang disebut penulis, seperti tulisan Jhons, dalam bukunya “Friends in Grace: Ibrahim al-Kurani and ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili” yang membahas hubungan antara al-Sinkili dan Ibrahim al-Kurani. Tetapi sama sekali belum melakukan usaha membahas lebih lanjut jaringan keilmuan al-Sinkili dengan ulama lain di Haramayn atau di Al-Azhar Mesir, yang saat itu sudah menjadi kiblat pemikiran islam.

Itu sebabnya buku ini Jaringan ulama ini sangat istimewa bagi saya, karena telah banyak membahas pemikiran, figur dan jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara secara komprehensif. Tentu ini juga bisa menjadi suatu kebanggaan buat Indonesia karena buku ini juga diterbitkan dalam bahasa Inggris di Crows Nest, Australia (AAAS & Allen-Unwin), Honolulu (University of Hawaii Press), dan Leiden (KITLV Press). Ini berkat hasil penelitian secara intensif oleh almarhun

Telah banyak peneliti kelas dunia memberi pujian, salah satunya adalah Karel Steenbrink, Profesor dari Institute of Islamic Studies, McGill Unifersity, yang mengatakan, “Karya ini (merupakan) langkah ke depan yang sangat penting bagi penulis sejarah Islam di Asia Tenggara. Topik yang di ambil bukan topik kecil – kecilan, … tetapi memang topik yang betul – betul komprehensif.”

Atas banyak jasa-jasanya itu, almarhum yang dipercaya sebagai Ketua Dewan Pers periode 2022-2025 ini pernah mendapatkan gelar kehormatan Commander of the Order of British Empire (CBE), sebuah title yang berasal dari Kerajaan Inggris.

Ia meraih gelar “Sir”, yang merupakan gelar Kerajaan Inggris yang diberikan oleh Ratu Elizabeth II. Melihat dari sumber BBC, CBE adalah penghargaan Kerajaan Inggris dengan peringkat tertinggi, diikuti oleh OBE dan kemudian MBE.

Selamat jalan intelektual teladan yang sangat rendah hati. Insyaallah, panjenengan khusnul hatimah. Amin.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *