
oleh : Afin Nur Fariha
Berziarah dengan Sejarah
Sore ini teringat saya akan novel sejarah karya Almarhum K.H Agus Sunyoto, tepatnya novel ke enam dari Suluk Abdul Jalil, yang berjudul Suluk Malang Sungsang. Membaca novel bergenre sejarah selalu membuat berdebar, seperti sedang memasuki lorong waktu. Menjembatani realita masa lampau untuk divisualkan di hadapan pembaca. Juga yang menjadi lebih indah, visualisasi realita masa lampau itu dilengkapi dengan diskripsi tentang gerak kesadaran suatu fenomena, tak hanya narasi tentang gerak indrawi dari fenomena masa lampau. Atau pendeskripsian atas peristiwa materil dan peristiwa rohani.
Secara personal, Suluk Malang Sungsang menghadirkan antitesa atas pengalaman saya belajar sejarah Islam selama bangku kuliah, khususnya terkait historiografi Islam Nusantara mulai abad ke 7 hingga masa kolonialisme. Dengan konteks latar personal yang begitu, Suluk Malang Sungsang hadir pada arti diri ini tak hanya menjelma sebagai novel, namun sekaligus juga sebuah karya historiografi dengan metode dan pendekatan yang baru.
Jika mengingat jam-jam kuliah yang terik, ditambah diskusi-diskusi panjang tentang perjalanan Islam maupun perjalanan bangsa lewat rangkaian mata kuliah yang ada, kini, sedikit dapat merefleksikan tentang tujuan dari apa yang saya jalani secara mengalir beberapa tahun tersebut.
Barangkali ruang kelas yang membuat saya berkesempatan tak kunjung lulus dengan jangka waktu agak lama, memberi sebuah pengalaman, bahwa belajar sejarah tak hanya sekedar belajar mengenai data-data yang diverifikasi akurat pada masa lampau.
Lebih darinya, data-data tersebut jika kita hayati membentuk fragmen-fregmen cerita yang menjadi sarana mengenai perjalanan suatu bangsa, dilengkapi dengan perjalanan religiusitas dan keluhuran budayanya. Sehingga dengan itu, belajar sejarah sejatinya juga belajar dalam rangka memperkokoh identitas diri pada kerangka agama, budaya dan bangsa.
Namun, sebuah rahasia bersama yang kita jalani mengungkapkan, bila referensi induk yang banyak menjadi rujukan dalam diskusi-diskusi akademik dengan barometer data akurat dan terferifikasi adalah historiografi maupun metode yang Baratsentris. Bagaimana Indonesia dinarasikan sebagai anak bangsa kolonialisme. Sinar peradaban kolonilaisme itu lah yang membuat bangsa kita dapat menanak nutrisi atau pengetahuan untuk pertumbuhannya.
Bagi saya yang hanya penikmat sejarah mungkin tak ada masalah, akan tetapi bagi saya yang tumbuh dan menghirup udara Indonesia sebagai anak bangsanya, naskah dalam struktur induk pada kajian historiografi terutama pada masa Islam Nusantara sebelum dan awal kemerdekaan seperti karya Thomas S. Raflles, Snouck Horgonje, Van Vlake, William Marsden pun M.c Reklefs, saya rasakan sajian historiografi tersebut seperti data yang dingin dan beku meski dengan alur kronologis yang ilmiah, kuat dan detil.
Udara mengenai sistem kebudayaan, pranata sosial, agama dan sistem religi yang sejatinya semengelak apapun, ia hidup dalam relung terdalam alam sadar pun bawah sadar anak bangsa Indonesia, kita menoreh unsur-unsur itu tidak sedang bersemayam pada historiografi induk (akademik) tersebut.
Sebagai generasi muda betapapun hidup dalam struktur sistem ekopol yang sangat berbeda dengan leluhur terdahulu, akan tetapi saya meyakini, bila kearifan sari ajaran-ajaran para moyang itu sejatinya masih diwariskan kepada kita, yang meski tak selamanya bisa kita tahu dan jabarkan secara konkret, kadang-kadang kearifan tersebut secara spontanitas muncul tiba-tiba di saat kita sedang menghadapi atau memandang fenomena tertentu.
Kelak, beberapa waktu kemudian, keresahan saya mendapat afirmasi pada sebuah moment Pembukaan Kelas Menulis Aksara Peralihan Nusantara (25/09) di Pesantren Baitul Kilmah. Dalam pembukaan Kelas Menulis Aksara Peralihan pada hari Minggu itu, Ustadz Diaz Nawaksara yang banyak menggeluti tentang pernaskahan para leluhur, menyatakan, “merujuk pemetaan K.H Agus Sunyoto, ada dua paradigma dalam menulis sejarah, yaitu paradigma epic dan paradigma emik.
Penulisan sejarah dalam epistimologi Barat dikerangkai dengan epic yaitu dengan pisau analisa positivistic, materialistic, etnografic, atrhopologis pun filologis. Akan tetapi, penulisan sejarah dengan epistimologi emik adalah yang selain darinya juga menyertakan narasi hikmah atas sudut pandang atau pengalaman eksistensial keruhanian masyarakat itu sendiri. Maka itu, cerita-cerita asli Indonesia banyak sekali lahir dengan bentuk cerita teladan-teladan yang sekaligus berfungsi sebagai pengikat norma dan ajaran akal budhi suatu masyarakat bangsa.”
Dengan kesyahduan menikmati dongeng-dongeng sejarah, juga dengan keresahan perihal yang telah saya utarakan ini, saya membayangkan, lewat kekayaan pada narasi sejarah, sebenarnya dapat menjadi media kita untuk melakukan perjalanan ziarah yang asik. Menziarahi akar bangsa Indonesia, menziarahi Islam Nusantara, untuk kelak membuat kita semakin mengenal diri dengan pencarian dan perjalanan ziarah itu.
Lalu, sebagai generasi muda, kita seperti mendapat tugas kolektif yaitu menulis historiografi yang lahir dari epistimologi atau kerangka pikir kedalaman bangsa sendiri. Oleh karena itu, sebenarnya merasa amat bersyukur ketika diberi kesempatan untuk belajar nimbrung membuat karya Ensiklopedi Atlas Ulama Nusantara di bawah bimbingan Dr. K.H Aguk Irawan Lc.MA dan teman-teman Pesantren Baitul Kilmah. Saat pertama kali mendengar itu, sebenarnya ada rasa terkejut. Ide macam apakah ini? Format atlas yang sedari kecil saya lihat adalah perihal pemetaan wilayah, persebaran flora fauna maupun sumber daya alam. Akan tetapi kali ini adalah atlas yang mengulas tentang jala biografi, laku keteladanan, dialektika pemikiran serta karya dan konstribusi para ulama Nusantara dalam perjalanan bangsa.
Semoga naskah-naskah sejarah yang lahir dari originalitas kearifan, pemikiran, falsafah dan kebudayaan bangsa semakin banyak. Juga upaya untuk mendekatkan histiriografi lokal dengan generasi muda maupun kolaborasi lintas bidang, seperti biasanya teramu dalam sebuah pameran yang menggabungkan banyak media untuk meneguhkan, memvisualkan dan menghidupkan teks-teks sejarah dengan nilai-nilai kearifannya dapat menjadi lebih familiar untuk dinikmati dan digeluti anak bangsa.
Aksara Peralihan – Media Dakwah Para Wali
Perjalanan ziarah lewat naskah sejarah selanjutnya adalah menziarahi aksara peralihan, yaitu aksara-aksara yang digunakan oleh para wali tanah Jawa atau Wali Songo sebagai media dakwah. Mengenai perjalanan aksara peralihan dan peran para wali, pada Suluk Malang Sungsang, kita kan dapati gambaran latar sebagai berikut:
Di sebuah pagi, beberapa bulan sebelum majelis Wali Songo dibentuk, dikisahkan, Abdul Jalil bersama Raden Said, Raden Sulaiman, Ki Pasambangan, Syeikh Abdul Malik, Ki Sarajaya dan Ki Luwung Seta sedang bekerja membuat naskah-naskah untuk disebarkan di seluruh wilayah pedalaman Jawa. Dipilihlah wilayah pedalaman sebagai tempat awal, pelopor dan central dalam menyebarkan serta menumbuhkan ajaran-ajaran Islam.
“Ia merasa, betapa masih cukup banyak tugas yang diembannya, dalam membentangkan cakrawala baru itu yang belum terselesaikan bahkan terbengkalai. Sadar bahwa tugas belum selesai dan sesuatu yang tak menyenangkan bakal terjadi, Abdul Jalil buru-buru mengumpulkan mereka yang selama itu telah menunaikan tugas untuk mencatat dan menyusun cerita-cerita, dongeng-dongeng, adab dan ajaran jalan hidup yang berdasar tauhid. Karya itu lah yang bakal digunakan untuk memperkuat nilai-nilai baru yang telah ditebarnya, yaitu nilai-nilai baru berdasarkan penghormatan dan keseimbangan yang bakal menggantikan nilai-nilai lama yang sudah tidak sesuai tuntunan perubahan.”
Pada narasi ini, menjadi sebuah gambaran perihal konteks keadaan dari manifestasi kelahiran majelis Wali Songo bak sebuah bahtera yang sedang mendayung pada dua arus. Arus kedigdayaan Majapahit yang pada detik-detik di ujung tanduk, juga arus detik-detik menjelang sebuah kapal bajak laut milik Portugis mendarat di Nusantara.
Kegemilangan Majapahit dan kekuasaannya yang besar itu, dalam perjalanannya menjadi ujian nyata bagi para pembesar kerajaan. Perang saudara pun meletus, menyisakan getir pada tragedi Paregreg. Sejak itu, nilai-nilai dan kebudayaan luhur yang telah dibangun kerajaan besar tersebut mulai ditinggalkan.
Di tengah nilai-nilai yang mulai goyah, trauma perang dan hiruk pikuk kebingungan masyarakat, maka praktik upacara persembahan kepada Durgakali menggunakan tumbal seorang pemuda atau pemudi kian merebak. Puja puji nan begitu rupa kepada Durgakali itu diharapkan dapat menyurutkan kegaduhan rakyat Jawa.
Sementara berita-berita tentang bajak laut Portugis yang membunuh nelayan-nelayan kecil Malaka juga membuat terbitnya kecemasan kian menjadi bagi rakyat Nusantara.
Di tengah kemelut yang demikian, saat iklim Majapahit lebih berfokus kepada kekuasaan dan meninggalkan pengetahuan, para intelektual dan pujangga kerajaan bingung tentang keberpihakannya, maka aksara kawi mulai ditinggalkan.
Jawa pernah mengalami era kegelapan dimana para pujangga berhenti memproduksi dan mereproduksi teks. (Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam: Menggugat yang Menjelang, Sejarah sebagai Nubuat di Jawa masa Kolonial). Pada masa kekosongan itu, para wali mulai mengisi kembali aksara tanah Jawa agar peradaban tulis menulis dan pengajaran tutur mulia tidak punah.
Terkait aksara para wali ini, pada acara pembukaan Kelas Menulis Aksara Peralihan, Ustadz Diaz Nawaksara menuturkan, “Para wali mulai meramu aksara pembaru dari aksara kawi menjadi aksara peralihan sebagai media dakwah sekaligus sebagai sarana untuk meleraikan ketegangan penduduk, lewat dongeng-dongeng dan ajaran yang mulia,”
Lebih lanjut, Ustadz Diaz meneguhkan, “naskah yang dibuat oleh para wali adalah naskah yang amat kaya, tidak hanya perjalanan kulitnya seperti materialisme historis, dll, namun juga berisi pengalaman-pengalaman spiritual. Bangsa Nusantara menyimpan kekayaan spiritual nan tinggi yang menjadi asas dari kebudayaannya, sebab budaya yang tinggi adalah yang mempunyai sastra tinggi, dan itulah bangsa kita,” tegas beliau.
Adapun aksara peralihan kerap disebut sebagai aksara gunung, sebab aksara ini digunakan oleh para ajar di gunung-gunung (R.Ng.Ronggawarsita dalam KGB 208). Disebutkan pula, bahwa pegunungan merupakan tempat jernih udara kesucian, juga pusat pertapaan bagi para pujangga dan tempat para cantrik menimba ilmu dari para ajar. Di antara karya dari aksara peralihan yang terkumpul dalam naskah Merapi Merbabu adalah Tapel Adam, Anbiya juga Ceritaning Para Wali. Aksara peralihan adalah aksara kawi yang secara fonetik mengalami pengaruh dari Bahasa Arab. (Ghis Nggar, Alih Bahasa Panji Jayalengkara Sunyawibawa)
Ditambah narasi sejarah yang menggambarkan tentang metode dakwah para wali dalam menyebarkan agama Islam secara amat halus, yaitu lewat akulturasi budaya, dapat kita rasakan dalam historiografi berikut:
“Bagi penduduk beragama Syiwa-Budha, kata wali bermakna pendeta yang melaksanakan upacara demi terciptanya keseimbangan kehidupan manusia. Di dalam perbincangan, kami telah sepakat bahwa apa yang disebut Jawa bukanlah nama tempat atau nama kumpulan orang-orang. Yang disebut Jawa adalah sebuah tatanan nilai-nilai yang berlandaskan tauhid dari berbagai agama yang pernah ada di dunia. Itu sebabnya yang disebut Jawa tidak akan pernah mati dan sebaliknya akan tetap hidup lestari abadi seiring putaran roda waktu selama anasir tauhid melekat padanya. Sebab sekuat-kuat benteng pertahanan diri, dari gempuran apapun, menurut Abdul Jalil adalah benteng pertahanan yang dibangun di atas landasan nilai-nilai tauhid.” (Suluk Malang Sungsang: 296)
Perihal sejarah dan filosofi penamaan Majelis Walisongo, kata wali yang berarti pendeta yang telah arif atau yang telah memiliki tingkatan jiwa tertentu dalam menjaga keseimbangan, juga kata songo yang memiliki arti sebuah wadah dari perlambangan kosmologi Jawa mengenai delapan penjuru mata angin Nusa Jawa, yang setiap penjuru dijaga dan dilindungi oleh para dewa, juga satu dewa penguasa arah pusat, yaitu Syiwa. Para wali mengadaptasi falsafah tersebut agar ajaran Islam mudah diterima dengan harmonis tanpa menghilangkan kreativitas budaya spiritual yang sudah dimiliki Nusantara. (K.H Agus Sunyoto. Atlas Walisongo.)
Upaya merawat tradisi luhur yang digunakan sebagai media dakwah para wali, salah satunya juga dipraktikkan oleh Ustadz Diaz Nawaksara di akhir sesi pembukaan Kelas Menulis Aksara Peralihan. Beliau memimpin kami untuk membaca syahadat triluko, atau syahadat yang dibaca sebayak tiga kali, yang pertama adalah untuk membuka diri, kedua untuk membuka alam semesta dan ketiga adalah persaksian yang amat dalam terhadap rahmat Allah dan Syafaat Nabi Muhammad SAW “ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ “
Dari itu, terasa memang sejarah dan konstribusi para wali dalam menyebarkan ajaran Islam di bumi Jawa ini amat indah. Kadang saya membayangkan, seandainya tidak ada para wali bagaimana kita bisa mengenal Islam di Jawa? Dengan Jawa yang penduduknya telah memiliki peradaban kebudayaan tinggi. Selain Hindu Buda, juga memeluk agama Kapitayan yang menyembah kepada Sang Hyang Taya yang merujuk kepada entitas yang tak terlihat, tak terbayangkan namun meliputi segalanya.
Dengan pembacaan yang begitu arif yang telah dilakukannya, betapa para wali menyebarkan Islam Nusantara lewat sendi-sendi kehidupan yang harmonis. Dengan merawat tradisi-tradisi baik yang telah berjalan, perlahan memperbaiki dan menghilangkan tradisi yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam, serta menambah atau melengkapi kekayaan akan budaya, sistem sosial, sastra juga kesenian Nusantara. Semoga kita semua selalu dalam rahmat Allah dan lindungan syafaat Nabi Muhammad SAW.
Wallahu ‘alam bis shawab…
26 September 2022, sore yang sendu di bukit Pajangan
