Oleh Aguk Irawan MN*
Ketika Kanjeng Nabi Muhammad Saw. lahir dari rahim Siti Aminah sekitar 1400-an tahun yang silam, tak ada yang tahu (selain Allah) bahwa si kecil itu akan merubah berbagai sudut kehidupan manusia, tidak hanya di Makkah tempat ia dilahirkan, tidak juga di seluruh jazirah arab, tetapi juga berhasil merubah kehidupan di alam semesta. Khusus bagi bangsa Arab, sebelum ia lahir, masyarakat dalam kondisi jahiliyah.
Sayyid Qutb dalam Ma’alim fi Ath-Thariq menggambarkan betapa kehidupan di sana dalam ketololan yang teramat; tidak mengenal keadilan; masyarakatnya patriarki dan patung yang mereka buat disembah sendiri. Pertumpahan darah hampir terjadi sehari-hari, perjudian merajalela, perzinahan, mabuk-mabukan dan perbudakan hampir ada di setiap rumah orang-orang kaya. Hukum yang berlaku adalah rimba; siapa paling kuat, perkasa, dialah yang berkuasa. Dan masyarakat yang lemah seperti kaum fakir, miskin akan tersingkir dan wanita menjadi bulan-bulanan kejahiliyahan itu.
Bayangkan, saat itu, wanita dianggap makhluk hina, tak berguna, semakin banyak keluarga berjenis wanita, maka mereka merasa bertambah banyaklah aibnya. Lalu terjadilah tindakan keji terhadap bayi-bayi wanita. Imam Fakhruddin ar-Razy dalam Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al’Arabiy, juz.IX hal. 411) menggambarkan pembunuhan keji yang dilakukan orang-orang jahiliyah ketika membunuh si jabang bayi wanita.
Di antaranya ada yang menggali lubang lalu dimasukkan jabang bayi itu ke dalam lubang saat ia masih hidup dan memendamnya sampai mati. Ada pula yang melemparkannya dari puncak bukit, seperti mereka membuang sampah, dan ada pula yang menenggelamkannya di kubangan air kotor, serta ada pula yang menyembelihnya di khalayak umum. Anehnya dengan cara terakhir ini, masyarakat jahiliyah menganggap ia telah melakukan hal kebaikan dan karenanya patut mendapatkan pujian.
Bahkan sastra yang sering dianggap sebagai penopang sebuah peradaban tak luput dari kepungan kejahiliyahan. Syauqi Dlaif dalam pengantar bukunya “Tarikh al-Adab al-Arabi” (Kairo: Dar al-Maarif, 1968) menggambarkan betapa puisi (syair) pada waktu itu, tema besarnya tak lebih dari kain rombeng; bernasafkan caci-makian dan melulu selangkangan (erotisme seksual). Hadir disana penyair ulung seperti Amrul Qais, Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa.
Dalam kondisi kepungan kejahiliyahan seperti itulah Kanjeng Nabi Muhammad Saw. lahir dan hadir. Islam yang di mandatkan Tuhan kepadanya berhasil mencuci ketololan yang teramat itu; kesesatan, penyembahan berhala, dan ketidak adilan yang merajalela dan menjadikan masyarakat beragama dengan agama yang hanif (lurus), yang membawa kabar gembira dengan pembebasan perbudakan, dan penghentian terhadap penindasan kaum hawa. Kanjeng Nabi Muhammad Saw. menancapkan iman terhadap Tuhan yang Esa, Malaikat, Rasul-rasul terdahulu, dan hari akhir. Dan konflik berkepanjangan antar suku yang tengah berlangsung selama berabad-abad, kemudian bersatu dan saling menyayangi dibawah bendera Islam yang rahmatan lil alamin dan rahmat itu pada saatnya tersebar dengan cepat sampai ke Afrika, benua Eropa (Spanyol), Asia sampai ke berbagai penjuru dunia.
Kemenangan yang menakjubkan itu sungguh tidaklah Nabi peroleh dengan mudah seperti membalikkan sebuah tangan, sungguh proses dakwah awalnya ia menanggung resiko sakit dan pedih yang teramat. Dalam sirrah Nabawi Ibnu Hisyam dilukiskan betapa sering Nabi disiksa dan dimaki oleh masyarakat Jahiliyah, bahkan oleh keluarga besarnya sendiri; seperti Abu Lahab dan Abu Jahal. Tapi sedikitpun ia tak punya dendam, Nabi tetap menyayangi mereka, bahkan ketika ia suatu ketika pernah dilempari kotoran, ia tetap tegar dan tersenyum, sambil memaafkannya. Ketika ia dijebak disuatu lobang besar dan ia masuk dalam jebakan itu,ia kemudian bangkit dan masih saja tersenyum.
Sungguh perilaku yang luar biasa itulah, sehingga membuat bergetar hati para penyair. Salah seorang penyair ulung seperti Ka’ab bin Zuhair, yang tadinya sangat membencinya kemudian balik mencintai bahkan merindukan disetiap waktunya. Perasaan cinta dan rindu itu ia tuangkan dalam puisi-puisinya 59 bait. Puisi ini disebut dengan qasidah burdah. Kita penggal beberapa larik:
kebencian telah ku tutup, beku dan buang, pergi
sungguh, hatiku keras saat itu, tumpul dan batu-batu
tidak berguna, menyimpan besi dan rantai di kepala
Dalam syair lain:
kabar gembira menyinar ke kelamku
oh budi pekertimu itu, duhai Rasul
memenuhi sukmaku, penuh, menyala-nyala
engkau cahaya yang terus bersinar
Penyair yang bergetar hatinya karena menyaksikan sendiri begitu mulia akhlak Nabi kemudian mereka terpesona, lalu menciptakan puisi-puisi indah, selain Ka’ab bin Zuhair, di garda depan ada nama Ibnu Rawahah, Hasan Bin Tsabit dan Hindun ibn Abi Halah yang terkenal dengan puisinya; Muhammad, ya Muhammad.
Begitulah dari masa ke masa, saat Nabi sudah lama wafat, selalu saja ada penyair-penyair ulung yang terpesona dengan ahlak Nabi kemudian mereka menciptakan puisi-puisi madah yang luar biasa indahnya, seperti Maulid Burdah, karya Imam Muhammad Al-Bushiri; Maulid Ad-Diba’i dan Maulid Syaraful Anam, karya Al-Imam Abdurrahman bin Ali Ad-Diba’i Asy-Syaibani Az-Zubaidi; Maulid Azabi, karya Syaikh Muhammad Al-Azabi; Maulid Al-Buthy, karya Syaikh Abdurrauf Al-Buthy; Maulid Simthud Durar, karya Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Maulid Adh-Dhiya-ul Lami’, karya Al-Habib Umar bin Hafidz dari Hadhramaut; Maulid Barzanji karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim Al-Barzanji al-Madani, dan lain sebagainya.
Menurut pengamat sastra Arab Al-Ashma’i, dalam Kitab al-Fuhul asy-Syuara (Beirut; Dar al-Kitab al-Jadid, keberhasilan dakwah Nabi tidak saja bisa memanusiakan manusia, hingga lebih bermartabat, tapi juga membawa pembaharuan dalam sastra Arab Jahiliyah, dari tema yang melulu bertemakan selangkangan dan penuh caci-makian ke tema kemanusiaan dan anti penindasan. Sungguh kepribadian Kanjeng Nabi Muhammad Saw. yang luhur itulah yang menyebabkan kaum muslimin menghormatinya di sepanjang masa. Muslimin mencintainya karena ia merupakan suri teladan yang sempurna. Wallahu’alam bis shawab!
*Penyair dan pengamat budaya dan sastra Arab.
Ajib
Masyaallah…