(Sedikit catatan dari Simposium Sastra Pesantren di Tebuireng 2-4 Desember 2022)

Kehadiran sastra pesantren tidak hanya hasil dari sebuah komunitas tertentu di era ini, bukan juga serta-merta dari dialektika kesusastraaan modern, yang itu karya-karyanya hanya bisa diidentifikasi melalui standart kontemporer, misal koran, majalah, buku atau pementasan di gedung kesenian kota, tapi sastra pesantren adalah soal mata rantai dari kekayaan kita yang berlimpah sejak masa lalu yang itu kehadirannya bersaamaan dengan sejarah pendirian pesantren.

Misal sejarah pendirian pertama pesantren Ampel Denta diiringi dengan penyaduran kitab Kakawin Selakrama Aguron-Guron karya Empu Prapanca menjadi kitab Sastra Pesantren ala Islam Pesisir seperti Serat Dewa Ruci Karya Sunan Kalijaga, atau Suluk Wijil gubahan dari kitab Ashidiq karya Abu Said AlKhair (w. 899 M). Pendirian pesantren Giri juga menghasilkan karya sastra kojah-kojahan (pujian), serat dan babad, yang diadaptasi dari kitab Kakawin Nitrisutri, Samyuta Nikaya dll, yang itu dianggit para empu zaman Majapahit.

Tentu saja, kita patut bersyukur lahir di Nusantara yang mewarisi pendidikan genius seperti pesantren yang lahir dari kelanjutan pendidikan bangsa sendiri (Kemandalaan) dan telah melahirkan putera-putera terbaik di zamannya, serta menjadikan sastra sebagai media penyampai pesan-pesan agama, mulai agama hindu, budha, kapitayan dan islam yang itu berupa Kakawin, Kidung, Tembang, Serat, Babad, Suluk, Hikayat, Syiir, Nadzaman, Qosidah, Pantun, Sajak, Prosa, dll., yang masing-masingnya mempunyai kebudayaan yang bernilai.

Kakawin Negara Kertagama merupakan salah satu bentuk puisi kuno warisan Kemandalaan dan UNESCO menghargainya sebagai The Memory of the World. Penemuan tulisan Mpu Prapanca ini juga begitu dramatik. Dalam ekpedisi (operasi militer) Belanda ke Lombok 1894, ketika Puri Cakranegara diserbu dan dibakar, Jan Laurens Andries Brandes, kolektor barang antik, filolog, memungut serpihan karya sastra dari abad XIV itu, dan membawanya pulang ke Eropa. Perlu dicatat, Empu Prapanca, selain penasehat atau pujangga Kerajaan Majapahit, dia adalah seorang Resi/Kiai di Kemandalaan.

Kakawin berikutnya adalah Sutasoma karya Mpu Tantular, kisah perjalanan Rajasanegara (Hayam Wuruk) dari Kekaisaran Majapahit, blusukan ke berbagai wilayah. Tersusun atas 1.210 gatra dalam 148 pupuh. Sutasoma sangat terkenal karena founding father Negara Rerpublik Indonesia -Bung Karno- mengutip pupuh 139 gatra 5 dalam lambang negara, Bhinneka Tunggal Ika (Tan Hana Dharma Mangrwa). Biar berbeda-beda tapi tetap satu jua. Sama Seperti Empu Prapanca, Empu Tantular juga seorang Resi/Kiai.

Selain itu, ada yang paling tua dan masih dapat ditemukan artefaknya hingga kini, yaitu karya Mpu Sedah pada masa kekuasaan Prabu Jayabaya, Kediri, 1157 M. Itulah Kakawin Baratayudha, yang diadaptasi menjadi Serat Purwakanda di Yogyakarta. Jadi sebagai lembaga pendidikan, sastra Pesantren punya mata rantai sejarah peradaban 900 tahun lebih. Sebelum abad XVI dikenal sebagai Kakawin ini. Karenanya, tampilnya pesantren sebagai tempat persemaian tradisi kesusastraan, menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar, tapi juga lembaga dakwah dan kebudayaan.

Pada abad 17 dan 18 pesantren menjadi tempat para pujangga dan sastrawan menghasilkan karya-karya sastra. Pujangga-pujangga kraton, seperti Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita, adalah santri-santri pesantren yang tekun mengembangkan karya-karya sastra dalam berbagai bentuk seperti Kakawin, serat dan babad. Sumber inspirasi mereka bukan hanya kitab kuning, atau karya ulama luar, melainkan juga pengalaman sejarah bangsa ini sendiri. Serat Centhini misalnya, yang ditulis secara kolektiv oleh Pakubuwana V; R.Ng. Ranggasutrasna; R.Ng. Yasadipura II dan R.Ng. Sastradipura berisi rupa-rupa persoalan. Dari soal kritik gender, relasi-sosial dan kekuasaan, sampai soal religius.

Serat setebal 4000 halaman dalam 12 jilid itu telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa dunia. Contoh lain, Serat Kalatidha yang ditulis R.Ng. Ranggawarsita 1860, salah satu ungkapannya terkenal sampai hari ini, Jaman Edan. Adalah serat yang berisi kritik social yang futuristic. Mereka semua pernah nyantri di sebuah pesantren di Kedu-Bagelen. Kedu, saat itu dikenal mengajarkan kesastraan Jawa maupun Arab. Dalam satu karya, Serat Cabolek, digambarkan soal ini.

Karya-karya pesantren muatannya berkisar pada mistical-sufi, moralitas, teologi seperti Layang Ambyok karya Yosodipura I yang terilhami oleh Fushusul Hikam karya Ibnu Arabi, atau cerita-cerita rakyat, dan juga cerita-cerita Nabi, cerita Timur Tengah, Cina dan India yang sudah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan lokal Islam Nusantara.

Seperti Tjarita Ibrahim (1859), Tjarita Nurulqamar, dan Hibat (1881) ditulis dalam bahasa Sunda dengan aksara pegon/Jawi dalam bentuk puisi. Karya-karya Raden Mohammad Moesa (kepala penghulu Garut dan pernah nyantri di satu pesantren di Purwakarta) berjumlah 17 naskah berbahsa Sunda pada 1860-an. Yang terkenal di antaranya adalah Wawacan Panji Wulung.

Pada perkembangan selanjutnya sastra pesantren muncul sebagai ideologi ketika masuk dalam ranah politik kebudayaan melalui Lesbumi NU sekitar tahun 1960an, dengan tokoh-tokoh seperti Asrul Sani, Usmar Ismail, Djamaludin Malik, dll melalui rubrik “Muara” di Harian Duta Masyarakat dan Majalah Gelanggang. Dari situ banyak karya dari komunitas Pesantren hadir sebagai jalan tengah antara polemik Manifestan yang mengusung jargon seni untuk seni dan Lekra dengan semboyan seni untuk politik dan gerakan revolusiner.

Selain itu, ada karya sastra Pesantren yang hadir berbentuk syiir, qosidah, nadzaman dan sejenisnya dalam bahasa Arab fushah, seperti syarah Qosidah Munfarijah, karya Kiai Bisri Mustafa, Nazaman Sulam Taufiq (553 bait) karya Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Nazaman Tanwirul al-Hija (312 bait) karya Kiai Ahmad Qusyairi Siddiq Jember yang mendapat apresiasi berupa syarah dari Sayyid Alwi bin Abbas Maliki Mekkah dengan judul Inarat Adduja, dll. Berikutnya juga karya-karya sastra kontemporer yang ditulis denga bahasa daerah maupun Indonesia, seperti karya-karya Abdul Hadi, Zawawi Imron. Kiai Mustofa Bisri dan Acep Zam-Zam Noor, dll.

Kemudian gerakan sastra berikutnya di awal tahun 2000-an dipelopori oleh aktifis islam kultural dari Yogyakarta, dengan menerbitkan Majalah Fadilah (Sastra Pesantren) dari kelompok penerbit Navila. Melalui Sholeh UG, KH M. Munif, KH Ahmad Toha, KH. Zainal Arifin Toha dan Musthafa W. Hasyim dll., ideologi sastra pesantren kembali digerakkan salah satunya sebagai penyeimbang hadirnya sastra gelap dan sastra seksual yang sedang naik daun.

Penerbit Navila dan majalah Fadilah menerbitkan Kanon sastra Arab, termasuk Layla Mainun, Hayy bin Yaqdzon (Robinson Cruso from Arabia). Seribu Satu Malam Seribu Satu Siang, karya AlManfaluthi, Taufiq El Hakim, bahkan novel karya Sayyid Qutub waktu masih sastrawan (sebelum berangkat ke Amerika Serikat) diterbitkan, juga naskah drama kelas satu berbahasa Arab digubah menjadi novel. Esatefet selanjutnya kanon sastra pesantren diteruskan oleh LKiS dengan Komunitas Matapenanya dan Jurnal Kebudayaan Kinanah.

Selain itu, fungsi sosial sastra pesantren ini ditunjukkan dari cara kaum santri melakukan penggubahan, tulis-ulang, atau penambahan dan penyisipan, penjelasan atau syarah atau intertekstul sebagaimana Kidung Rukmekso Ing Wengi karya Sunan Kalijaga yang terinspirasi dari karya Abdul Karim AlJilli dalam Insan Alkamil untuk disesuaikan dengan cita-cita sosial-keagamaan kaum pesantren. Contoh lain dalam Kakawin Selakrama dengan tahqiqan berupa dedewanisasi. Karena sepenuhnya hampir diwarnai oleh kosmologi Hindu.

Dalam naskah tersebut disisipkan satu predikat “berkah” dengan konsep yang berbeda. Meski sangat kecil, sisipan tersebut mengandung arti yang signifikan. Karena keseluruhan konstruksi bercerita berubah total, dimana pesantren memainkan peran baru dalam memberi spirit dan corak kesastraan lama.

Dalam sejarahnya sastra pesantren ditulis menggunakan huruf Kawi, Peralihan, Carakan, Pegon, Arab dan Indonesia dengan beragam bahasa Nusantara. Kandungannya bermacam-macam, mulai dari cerita roman, ada yang mengandung spiritual agama, sejarah, dan realitas sosial, hingga cerita-cerita yang dipenuhi tema-tema moralitas dan kepahlawanan. Jadi nyata pesantren, selain berfungsi sebagai pusat pendidikan, dakwah, juga adalah tempat persemian tradisi kesusastraan Indonesia. Wallahu’alam

(Aguk Irawan MN)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *