Oleh: Muhammad Muhibbuddin*

Dalam epos Mahabarata, cerita perang Bharatayuda sudah sangat populer. Perang antara Pandhawa versus Kurawa itu merupakan inti dari cerita tersebut.  Seperti dikisahkan bahwa saat perang besar itu pecah, padang Kurusetra, sebuah tempat yang menjadi medan laga dari peperangan tersebut, langsung banjir darah. Pasukan dari kedua belah pihak telah gugur, termasuk putranya Arjuna yang sangat fenomenal dan gagah berani: Abimanyu.

Pandhawa yang terdiri atas lima ksatria: Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sadewa menggempur para gerombolan bandit (Kurawa) dengan tokoh-tokohnya antara lain Duryudana, Sengkuni, Dursasana dan Angga Karena–meski dukungan Karna terhadap Kurawa lebih bersifat politis dan taktis-strategis demi kemenangan Pandhawa yang merupakan saudaranya sendiri.

Perang Bharatayuda itu mencerminkan peperangan antara kebenaran versus kebatilan; antara kabaikan versus kedurjanaan. Pandhawa merupakan representasi kebenaran sebaliknya Kurawa merupakan representasi kebatilan.  Akan tetapi perlu juga ditegaskan bahwa Kurawa sesungguhnya bukan sepenuhnya cerminan dari kebatilan. Mereka lebih tepat disebut sebagai kelompok orang yang belum menemukan cahaya kebenaran, sebab dalam diri para Kurawa itu sendiri tetap ada potensi-potensi kebenaran dan kebaikan.

Hal yang paling menarik dari kisah Bharatayuda ini adalah makna-makna di baliknya.  Wawan Susetya dalam karyanya, Bharatayuda: Ajaran Simbolisasi Filosofi dan Maknanya dalam kehidupan Sehari-hari mencoba mendedah selapis demi selapis makna dan nilai-nilai kebijaksanaan dari perang Bharatudha tersebut. Perang Bharatyudha, jika merujuk pada karya Susetya itu, pada dasarnya bukan bercerita soal peperangan an sich, tetapi lebih sebagai media untuk mewedarkan atau mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan kebijaksanaan kepada umat manusia.

Makna penting di balik kisah Perang Bharatayuda ini adalah bahwa seberapa kuat dan besar kebatilan, keangkaramurkaan dan kedurjanaan, pasti akan hancur oleh cahaya kebenaran dan kebijaksanaan.  Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (kejahatan dan kesombongan akan kalah dan hancur lebur oleh sikap kebaikan dan kebijaksanaan) (Susetya, 2010: 5).

Dengan demikian, kisah Bharatayuda itu secara implisit menyampaikan pesan bahwa manusia diharapkan mampu membangkitkan (menggugah) potensi-potensi dan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan di dalam dirinya serta menjauhi keburukan, dosa dan maksiat. Kenapa demikian? Sebab setiap perbuatan manusia itu ada konsekuensinya; dalam bahasa pewayangan ada hukum karma bagi orang yang melakukan kesalahan atau dosa jika mereka tidak bertobat kepada Allah Swt.

Barang siapa yang suka berbuat dosa dan kejahatan, maka cepat atau lambat dia akan hancur dan tersungkur ke dalam lumpur kehinaan, sebagaimana hancurnya Kurawa di medan Kurusetra oleh kelompok Pandawa. Sikap angkuh, sombong dan angkara murka, sejatinya adalah “api” yang bakal membakar diri sendiri. Manusia yang dikuasai oleh sifat-sifat “Kurawa” itu, cepat atau lambat pasti terjatuh pada jurang kehinaan dan kenistaan dengan sendirinya.

Sifat-sifat “Kurawa” yang terkenal sangat buruk ini kalau dalam diri manusia merupakan cerminan dari hawa nafsu, sebab hanya hawa nafsulah yang menggiring manusia ke dalam keburukan. Sementara sifat-sifat “Pandhawa” yang terkenal baik dan mulia, kalau dalam diri manusia merupakan cerminan dari akal sehat dan hati nurani.

Pertarungan Akal-Nurani versus Hawa Nafsu

Perang Bratahyudha itu kalau maknanya ditarik ke dalam konteks jagat kecil (mikrokosmos) merupakan simbol dari pertarungan akal-hati nurani melawan hawa nafsu. Maka, kalau ditelisik lebih dalam terkait hubungannya dengan mikrokosmos ini, kisah perang Bhratayudha sejatinya mengajarkan tentang pentingnya manusia memerangi hawa nafsunya sendiri. Musuh terbesar manusia adalah hawa nafsunya sendiri, bukan orang lain. Karenanya, yang pertama kali harus ditaklukkan manusia adalah hawa nafsu dan syahwat yang bergejolak dalam dirinya.

Jika ingin hidup mulia, manusia haruslah mampu melawan dan menguasai hawa nafsu yang bercokol dalam dirinya, bukan malah mengumbarnya. Syahwat dan hawa nafsu, yang memunculkan aneka macam keinginan yang bersifat wadak dan prilaku-prilaku buruk, merupakan puncak dari penderitaan. Manusia menderita karena tersiksa oleh beragam keinginan dan hasrat (desire) yang diproduksi oleh syahwat dan hawa nafsu terus menerus dalam dirinya.

Dalam konteks sosial yang lebih luas, produksi hasrat dan keinginan oleh hawa nafsu ini semakin canggih dan eksistensinya makin kokoh oleh sistem kapitalisme yang telah memproduksi aneka macam komoditas. Kekuatan kapitalisme yang bergerak begitu jauh, kini bukan hanya memproduksi barang dagangan, tetapi juga mendefinisikan selera massa. Hasrat dan keinginan masyarakat, dalam sistem komodifikasi kapitalisme ini tidak lagi muncul secara “natural” berdasarkan kebutuhan alamiah, melainkan secara artifisial akibat diciptakan, distimulasi dan direkayasa sedemikian rupa oleh mesin-mesin kapitalisme.

Dari proyek komodifikasi kapitalisme yang mengeksploitasi hasrat dan keinginan masyarakat itu kemudian memunculkan gejala over konsumerisme di tengah kehidupan sosial-masyarakat. Masyarakat dibuat gila dalam mengkomsusi barang dan komoditas. Kegilaan masyarakat konsumeristik ini salah satunya yang paling menonjol, seperti ditegaskan Idi Subandy Ibrahim dalam Lifestyle Ecstasy, menyeruaknya gairah untuk mengkonsumsi tidak hanya barang-barang yang “Real”, melainkan juga terhadap hal-hal yang tidak “Real”.

Gairah konsumerisme yang demikian menggelegak dalam masyarakat ini bertali temali dengan arus komodifikasi kesan dan citra yang berlapis-lapis dalam sebuah, dengan meminjam istilahnya Baudrillard, Simulcrum sehingga akibatnya citra atau kesan dianggap lebih penting, lebih utama dan lebih bermakna dari realitas; gaya hidup dianggap lebih urgen dari kenyataan hidup.

Munculnya masyarakat yang over konsumtif tersebut tiada lain adalah konsekuensi logis dari keberhasilan kekuatan kapitalisme dalam mengeksploitasi hasrat dan syahwat manusia. Melalui proyek besar komodifikasi kapitalisme, masyarakat digiring untuk hanyut, tenggelam dan ekstase dalam kubangan hasrat dan syahwat, dengan berburu berbagai komoditas, citra dan ragam banalitas.

 

Perlu dilawan     

Manusia tentu saja harus melawan proyek eksploitasi hasrat oleh kekuatan kapitalisme tersebut jika dirinya tetap ingin sehat dan waras. Cara melawan godaan nafsu itu adalah dengan menghidupkan akal sehat dan hati nurani. Jika sistem sosial yang busuk akibat proyek-proyek komodofikasi kapitalisme itu masih juga belum berubah secara total, maka cara menyelamatkan diri dari ketidakwarasan akibat dominasi hasrat dan syahwat adalah membangun komitemen dan kesadaran personal maupun kolektif untuk menghidupkan akal sehat dan hati nurani.

Apapun yang diinginkan nafsu atau syahwat, terutama sebagai hasil hasutan dan rekayasa kapitalisme, jangan serta merta dituruti, tetapi harus ditimbang dan difilter oleh akal dan hati nurani. Dengan demikian, akal sehat dan hati nurani selalu menjadi komando atas seluruh laku diri manusia.

Jika yang menjadi komando atau pemimpin adalah akal sehat dan hati nurani, maka hawa nafsu akan bisa jinak dan tidak liar, sehingga kehidupan dan diri seseorang selalu berada dalam jalur kebenaran dan kewarasan. Jika yang menjadi komando adalah hawa nafsu dan hasrat-hasrat yang tak terkendali, maka kehidupan dan diri seseorang dipastikan berada dalam rel kejahatan dan kegilaan.

Karenanya Pandhawa dalam hidupnya senantiasa riyadloh, tirakat dan tapa bhrata untuk mengendalikan diri dan hawa nafsunya, sehingga para Pandhawa muncul sebagai pribadi-pribadi yang berjiwa ksatria dan berbudi mulia. Ini berbeda dengan Kurawa yang sejak kecil selalu dimanja dalam kemewahann istana kerajaan.

Mereka selama hidupnya selalu mengumbar hawa nafsu sehingga lahir sebagai pribadi-pribadi yang rakus, sombong, angkuh, arogan, picik, kejam dan penuh angkara murka. Sikap Kurawa yang seperti ini akhirnya membuat mereka hancur di medan Kurusetra.

Perlu diingat bahwa badan atau tubuh kita ini sejatinya adalah “medan Kurusetra” yang terus menerus menjadi ajang “peperangan agung nan dahasyat” antara akal-hati (Pandhawa) versus syahwat dan hawa nafsu (Kurawa).

Cuma entah disadari ataukah tidak, dalam peperangan dua kekuatan besar yang bergejolak dalam diri kita itu, kita sendiri sering lebih berpihak pada Kurawa (Hawa Nafsu). Akibatnya kehidupan kita mudah terjerumus ke dalam jurang kehinaan dan kesengsaraan.

 

*Muhammad Muhibbuddin, pecinta filsafat dan penulis freelance, tinggal di Krapyak, Yogyakarta

 

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *