
Oleh: Aqib Muhammad Kh*
Dalam dunia literasi, nama Pramoedya tentunya tidak asing lagi. Karya-karyanya bak lautan yang banyak memberi manfaat. Banyak intelektual dan cendekia Barat menjadikan karya Pram sebagai objek penelitian. Karya Pram dinilai tidak hanya berkutat pada retorika bahasanya yang indah dan segar, tetapi juga dinilai menyentuh sisi-sisi kepekaan seorang manusia untuk dapat merdeka dalam berpikir dan bertindak.
Gaya berceritanya yang khas dan kritis dalam karya-karyanya mampu membuat pembaca bergairah seakan ikut menjadi pelaku sejarah. Pram menulis novel dari sudut pandang pelaku sejarah. Tak hanya itu, ia merekonstruksi sejarah secara kontemplatif untuk memantik bagaimana seorang dapat berlaku adil sejak dalam pikiran.
Dalam menulis novel, Pram menyuguhkan tokoh-tokoh dengan pembawaan nalar kritis dan tajam yang diadopsi dari sejarah masa lampau. Ia tidak menyampaikan sejarah secara tekstual dan monumental, tetapi lebih pada perenungan kedewasaan bertindak. Imajinasi yang dikolaborasikan dengan sejarah tersebut menjadi semacam preview atau contoh untuk generasi mendatang. “Imagination is a picture of the future”.
Kemanusiaan
Dalam Bumi Manusia, Pram menuturkan kisahnya dengan sudut pandang orang pertama sehingga bersifat eksploratif dan evokatif. Sifat yang berada pada Minke sebagai seorang pribumi yang tidak ingin ketinggalan informasi dan arus peradaban modern dapat dengan komprehensif dieksplorasi oleh Pram dalam tetralogi Pulau Buru; Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca.
Dalam novel itu, Pram mengupas tuntas bagaimana seorang harus teguh mempertahankan keyakinan untuk mencapai kesuksesan dalam aspek-aspek kehidupan.
“Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang ia rebut sendiri.” Keberanian Minke dalam mempertahankan kebebasan eksplorasi dan mempertahankannya terlihat sangat dinamis dan bijak. Dalam hal cinta, Pram menabrakkan sosok Minke dengan badai permasalahan yang pelik.
“Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya.” Bayangkan, musuh Minke saat itu adalah mayoritas, sedang ia hanya punya Nyai Ontosoroh untuk menguatkan keberaniannya.
Pandangan saya, itu kisah dapat dijadikan semacam pijakan referensi untuk anak muda masa kini. Sebab, anak muda sekarang cenderung lemah dan lembek jika dihadapkan pada mayoritas. Moralitas yang dianut oleh mayoritas membelenggu jiwa pemuda yang sebenarnya eksploratif dan kreatif. Keberaniaan itu dibentuk, bukan sifat alamiah manusia.
Titik sublim Minke menjadi dewasa didorong oleh keberaniannya mempertahankan cinta. Kata-kata Jan Dapperste menguatkan keberanian Minke untuk melawan. Sebab, bila otak manusia terlalu terbelenggu dan terpenjara oleh moralitas, sukar untuk berpikìr bebas. Orang hanya akan menjadi budak dari suatu sistem. Setidak-setidak, Minke mengajarkan bagaimana setiap orang membebaskan pikirannya untuk mengeksplorasi dunia.
Dengan tokoh Minke, Pram menyuguhkan beberapa permasalahan pelik yang dihadapinya. Berbekal pengetahuan yang didapat dari H.B.S, Minke dapat menemukan problem solving dari setiap masalah tersebut. Pram, melalui Minke, mengajarkan bahwa eksistensi ilmu pengetahuan dalam membentuk pola pikir cerdas anak muda sangatlah penting.
Tak hanya itu, kepiawaian dalam menyampaikan sesuatu lewat tulisan juga harus dibudayakan setiap pelajar. Selaras dengan itu, Konfusius mengatakan: “Without knowing the force a words, it is impossible to know more.” (Tanpa mengetahui kekuatan kata, sukar untuk mengerti pengetahuan).
Realisme Sosial
Kebanyakan karya Pram bertema semi-autobiografi dengan latar belakang persoalan sosial. Penceritaan realisme sosial menjadi pilihan Pram dalam mengangkat permasalahan sosial yang dianggap Pram perlu dikritisi dan diluruskan. Pram tidak menulis sejarah secara monoton dan monumental, tetapi Pram menyampaikan sejarah dengan mata terbuka dan kritis.
Penderitaan dan kepedihan selama dipenjarakan di Pulau Buru membuat Pram merasa tertindas. Berangkat dari situlah kemudian ia menulis tetralogi Pulau Buru. Dalam menceritakan sebuah kisah, Pram tidak muluk-muluk dan mendayu-dayu. Ia sangat hemat kata dan diksi, tapi efektif dan tajam pada makna yang dikehendaki. Pemilihan kata-katanya sangat lugas dan segar.
Landasan keberanian Pram dalam menceritakan sisi-sisi sensitif problematika sosial membuat beberapa karyanya dibungkam oleh pemerintahan. Pram dikecam banyak pihak sebagai penulis yang radikal, terlalu keras, dan anarkis. Padahal bila kita tilik lebih jauh, beberapa karya Pram justru berpihak pada ketidakadilan tatanan kaum kapitalis menyudutkan kaum kecil.
“Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” Begitulah kiranya nalar berpikir Pram dalam menyampaikan cerita. Sastra tidak hanya berkutat pada keindahan dan kata-kata romantis, tetapi pada kritik-kritik segar kemanusiaan yang membangun sebuah peradaban. Sastra adalah pembaharuan peradaban. Mursal Elen mendefinisikan bahwa sastra pengungkapan imajinasi berlandaskan kehidupan manusia.
Pram mewakili seluruh rakyat pribumi pada saat itu menyuarakan keadilan hukum. Penindasan yang berkepanjangan pada masa ia hidup hingga terasingkan di Pulau Buru menjadi tonggak lahirnya tetralogi Pulau Buru.
Pastinya, ada sakit dan pedih yang dirasakan Pram selama mendekam di Pulau Buru. Sebab itu, tingkah seorang bisa tertekan dan terbungkam oleh adat dan peraturan, tapi dalam berpikir dan berkarya, seorang bebas menuturkan semaunya. Dan dari latar belakang tersebut, Pram mengeksplorasi kekejaman hukum yang pincang.
Penderitaan
Pada 1965, Pram ditangkap oleh pemerintah Orde Baru dan ditahan di Pulau Buru selama 14 tahun. Ia disinyalir terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Jakarta (Lekra) yang dianggap mempunyai hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keterasingannya di Pulau Buru melahirkan karya-karya monumental. Penindasan, ketidakadilan, dan kekecewaan Pram dikemas dalam bentuk cerita. Ia secara jujur mengungkap kata hati. Dilandasi kebijakan dan pengetahuan, Pram menghadirkan fiksi seperti kenyataan adanya. Dan telah disinggung di atas, ia menggunakan aliran realisme-sosial dalam menulis novelnya.
Penderitaan yang dirasakan Pram itulah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Arok Dedes, dan lain-lain. Ia melawan penindasan dan ketidakadilan hukum dengan kata-kata. “Sebagai seorang pengarang, saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik.”
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Kantor Hijaz, 2022