Oleh: Mujahidin Nur* - Di biara Mater Ecclesiae Monastery. Di sebuah ruangan yang didominasi dengan gaya arsitektur tua inilah Paus Benediktus XVI menghabiskan hari-hari terakhirnya karena sakit yang dideritanya.

Oleh: Mujahidin Nur* (Direkur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia. Wakil Ketua LBM PWNU DKI)

Pemandangan hijau menghampar di perkebunan Biara Mater Ecclesiae Monastery yang terletak di perbukitan Vatican. Keindahan sungai Tiber yang dipercaya oleh masyarakai Roma sebagai sumber keberuntungan makin menambah keindahan Mater Ecclesiae Monastery.

Di biara Mater Ecclesiae Monastery. Di sebuah ruangan yang didominasi dengan gaya arsitektur tua inilah Paus Benediktus XVI menghabiskan hari-hari terakhirnya karena sakit yang dideritanya. Tepat pada tanggal 31 Desember 2022, pukul 09.34 Waktu Eropa Tengah yang lalu itu, Paus Benediktus XVI wafat di Biara Mater Ecclesiae di Kota Vatikan pada usia 95 tahun.

Sesaat sesudah wafat Uskup Agung Georg Gänswein, sekretaris pribadi dan orang kepercayaan Benediktus, melaporkan bahwa kata-kata terakhir yang diucapkannya adalah “Signore ti amo.” (bahasa Italia: ‘Tuhan, aku mencintaimu’).

Pada tanggal 1 Januari 2023, jenazah Benediktus dibaringkan di kapel Biara Mater Ecclesiae, dimana jenazah tersebut dilihat oleh orang-orang terdekatnya. Saat itu, mendiang dipakaikan jubah merah, warna tradisional untuk pemakaman kepausan. Kemudian pada pagi hari tanggal 2 Januari, jenazah Benediktus dipindahkan ke Basilika Santo Petrus, dimana mendiang dijadwalkan akan disemayamkan sampai pemakamannya pada tanggal 5 Januari, yang diperkirakan akan dipimpin oleh Paus Fransiskus.

Benediktus telah menjadi paus emeritus sejak pengunduran dirinya sebagai pemimpin Gereja Katolik pada tahun 2013 karena sakit. Paus Emeritus Benediktus XVI atau dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah Papam Emeritum Benedictus adalah Uskup Roma. Pemimpin Negara Kota Vatikan dan Gereja Katolik Roma. Termasuk Gereja Katolik Timur dalam komuni dengan Tahta Suci. Dia merupakan salah satu tokoh terpenting di Vatikan dan rekan dekat Yohanes Paulus II sebelum menjadi Paus.

Paus Benediktus XVI terpilih sebagai Paus pada bulan April 2005 setelah pemakaman Paus Yohanes Paulus II. Pemilihannya dilakukan dalam sidang Konklaf Kepausan 2005. Sidang ini dihadiri oleh 115 kardinal yang memiliki hak suara dalam pemilihan Paus yang baru. Benediktus dianggap sebagai seorang tradisionalis. Hal itu terihat dari perlindungannya yang ketat terhadap prinsip-prinsip Kepausan. Dia adalah seorang pengkritik homoseksualitas, pernikahan kelamin sejenis, euthanasia, dan aborsi.

Sebagai Kardinal, ia juga pernah menulis buku yang sangat terkenal, yaitu Truth and Tolerance yang menjelaskan relasional antara kebenaran di satu sisi dan toleransi disisi lain yang saling melengkapi. Dalam buku ini juga dikemukakan akar-akar dan penyebab intoleransi atas nama kebenaran. Menurut Benekdiktus, ini adalah sesuatu yang amat pelik, karena pelakunya tidak melihat fakta sosial yang majemuk, serta malas melakukan prosedur ilmiah (rasional) dalam segala tindakan dan keyakinannya.

Bagi Benediktus, kelompok intoleran diklasifikasikan sebagai orang yang cenderung jumud atau ‘a priori’, padahal sebagai metode, ‘a priori’ dituntut menghadirkan rasionalitas. Selain itu, adanya penolakan terhadap kebenaran di luar dirinya karena mereka tidak mencoba membuka diri untuk dinamis dan terlibat di luar dunianya.

Jadi formulasi pemaknaan terhadap kebenaran yang sangat subyektif dan fanatik itu harus diatasi dengan merunut ke akar geniologi-antropoliginya. Karena menurutnya, pemaknaan agama sejatinya bersifat ’spatio-temporal. Karena itu, ia mencoba mencari solusi dari ruang buntu itu.

Teori ’truth to tolerance’ ia gunakan untuk memeriksa kebenaran-kebenaran partikular yang terdapat pada kelompok pemeluk agama-agama, supaya kejadian masa silam, seperti perang salib tak ada lagi di masa mendatang. Menurutnya, setiap agama menyimpan kebenaran yang partikular, dan kebenaran universal terdapat pada kesatu-paduan (contingent) dari masing-masing kebenaran tersebut. Apabila di ruang publik ada satu agama menganggap dirinya sendiri sebagai pemegang kebenaran secara mutlak, maka saat itulah defisit kebenaran terjadi.

Menurutnya lagi, tidak boleh tidak, sejarah kebenaran teologis harus selalu diperiksa ulang dan dilakukan rekontektualisasi (recontextualization), hingga betul-betul menjadi lebih terpercaya. Selain itu, ia juga mengingatkan penggunaan toleransi sebagai alasan untuk menyimpangkan kebenaran.

Disamping itu, Benediktus XVI juga mengikuti Konsili Vatikan II dan secara konsisten terus menerus mempertahankan hasil Konsili tersebut termasuk Nostra Aetate, dokumen yang menekankan pada rasa saling menghormati dengan agama lain dan pernyataan hak kebebasan beragama.

Berkat pandangan-pandangannya nyang berlian itu, Vatikan mengumumkan bahwa Paus Emeritus Benediktus XVI, seorang teolog perdamaian terkemuka abad ke-20 dan paus pertama yang mengundurkan diri dari jabatannya dalam hampir 600 tahun.

Dalam pandangan penulis, walau Benediktus posisinya seorang pemimpin umat Katolik, sejatinya Benediktus adalah seorang ‘pelintas batas’. Ia melewati batas-batas kebangsaan dan bahkan agama dalam aktivitasnya sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik. Ia memperbaiki citra kepausan dengan lebih membuka dialog dan melakukan komunikasi peradaban dengan seluruh umat manusia di luar komunitas Katolik.

Lebih dari itu, Ia adalah Paus yang sangat dekat dengan kaum buruh, yang memimpin umatnya dengan jalan mengunjunginya langsung ke tempat-tempat jauh. Cinta dan hormatnya terhadap hidup juga penderitaan manusia tidak diragukan lagi. Ia menunjukkan keteguhan keyakinannya bahwa hidup harus dihormati sejak dalam rahim ibunya serta dalam keadaan apa pun. Mereka yang acuh terhadap penderitaan sesama adalah mereka yang di dalam hatinya tidak mempunyai cinta pada kemanusiaan.

Paus Benediktus bagi penulis juga merupakan simbol kepercayaan. Dia menjadikan dirinya sebagai simbol yang kuat bagi Tuhan dan Gereja. Paus Benediktus adalah pribadi yang tiada pernah lelah menyamakan visi antar agama di dunia untuk bersama-sama menciptakan perdamaian global. Benediktus menjadikan dirinya bukan hanya sebagai seorang pemimpin spiritual. Namun Benediktus juga menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin intelektual bagi umatnya. Ia merupakan teolog yang mengabdikan kehidupannya untuk keadilan dan perdamaian umat manusia.

Alkhasil, semua orang hendaklah harus terpanggil untuk meringankan serta menghapus penderitaan sesama warga umat manusia. Kita semua harus terpanggil untuk memerangi kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Paus memenuhi panggilan itu dan dinilai oleh para pelaku sejarah sebagai sosok yang ikut memberikan kontribusi besar bagi dunia.

Sekali lagi, mendiang lebih dari juru damai di abad kini, tapi ia juga membuat Gereja tidak hanya dekat dengan Tuhan, tetapi juga dekat dengan manusia. Selamat jalan Paus Benedixtus XVI. Langkah muliamu akan kami teladani dan ikuti. Dengan itu kami akan bangga mengatakan, “Tuhan aku mencintaimu.”*

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *