
Oleh: Muhammad Raihan Najmi*
Saat Bapak Jokowi dan Ibu Mega sedang tidur nyenyak-nyenyaknya, setumpukan sampah itu tertumpahkan lalu berenang-renang di atas sungai. Sebagian dari mereka terhenti dan menyangkut di lekukan sungai yang pertama, termasuk selembar tank top berwarna merah. Maka malam itu, adalah malam perkenalan antara tank top dengan beringin di ujung lekukan sungai. Sebenarnya beringin itu tidak ingin berteman dengan tank top, hanya saja dia tidak memiliki daya untuk kabur dari tempat itu, juga tidak memiliki daya untuk menyuarakan ketidakmauannya. Andai saja beringin itu bisa berbicara pada manusia, barangkali dia akan berkata “jangan buang tank topmu sembarangan!” Karena dia tidak habis pikir juga, bagaimana bisa selembar pakaian yang seharusnya dikenakan oleh wanita-wanita seksi itu justru mengapung di atas sungai hingga memeluk kakinya. Beringin itu jijik melihatnya.
***
Kehidupan ini begitu luas, bukan hanya secara geografis saja, lebih luas lagi mengenai dimensi-dimensi kehidupan itu sendiri yang berlapis-lapis dan sepertinya banyak sekali yang belum kita sentuh dan ketahui. Misalnya tentang percakapan sesama pohon di pagi hari, tentang makanan yang menjadi energi karena dipuji-puji pemiliknya sebelum dimakan, atau tentang isak tangis bangku-bangku kecil reyot di warung-warung kopi ketika diduduki manusia-manusia lemak berlebih (aku lebih suka menyebutnya). Yang jelas mereka hadir dan nyata adanya, menjadi rantai-rantai penting pada kesinambungan perputaran hidup.
***
Lembaran-lembaran kain terkutuk itu dijemur oleh Matiem di atas bilah-bilah bambu yang berdiri meleyot untuk kesekian kalinya. Seketika sekawanan cairan merah terjun kepada tanah seraya tertawa-tawa jahat. Momen yang paling dihindari tanah telah tiba, hanya saja ia tidak bisa lari kemana-mana. Mereka datang menghujam, tanah menggeram. Cairan merah lain yang merupakan air bekas rendaman kain kini dibuang ke comberan oleh tangan Matiem berpercak-percak merah, gatal, dan Matiem sendiri tidak tahu oleh sebab apa. Satu hal lagi yang tidak diketahui Matiem adalah dia baru saja membantu sekawanan cairan merah untuk melakukan tindak kejahatan kepada sungai dan pembunuhan berantai kepada keluarga ikan. Sedang sungai yang hakikatnya benar-benar membenci mereka tak berkutik apa-apa, tak bisa lari kemana-mana. Ia hanya bisa menyimpan kedongkolannya di dalam hati. Lalu nun jauh di atas sana, siang hari itu juga, tanpa disadari oleh manusia-manusia seantero bumi ini; matahari kembali merasa berdosa. Karena lagi-lagi sinar agungnya justru membantu kain-kain terkutuk itu untuk melahirkan jutaan anak-anak setan yang memperkosa udara. Udara menangis tanpa suara, tanpa air mata.
Tanah, Sungai, Matahari, dan Udara sudah lelah dengan penderitaan yang diterima hari demi hari. Mereka benar-benar ingin marah namun bingung harus kepada siapa mereka menghardik. Ibu Matiem? Ya memang dia lah yang membuat dan menjemur kain terkutuk itu, dia pula yang mengalirkan anak-anak cairan merah ke comberan hingga kepada sungai. Tanah, Sungai, Matahari, dan Udara sudah tak kuasa diri. Mereka ribut ingin meluapkan amarah mereka.
“Ya, biar kubakar saja dia dengan lavaku ini agar dia menjerit kesakitan hingga menjadi abu tulang-tulangnya.” Ujar matahari menggebu-gebu.
“Atau kutelan saja dia agar tidak bisa bernafas, lalu mati secara menjijikkan menjadi makanan bagi cacing dan belatung di dalam perutku.” Tanah memberi usulan.
“Aku juga masih memiliki buaya, yang mana bisa melumat tubuh Matiem tidak kurang dalam lima menit” Sungai turut menanggapi.
“Tapi teman-teman, lihatlah Bu Matiem itu. Dia tidur di atas ranjang dengan kasur yang gepeng, rumahnya reyot, gentingnya bocor di sekian titik, sehari-hari dia hanya makan makanan seperti tempe, tahu, gereh, sayur. Bahkan kadangkala dia dan anak-anaknya libur makan saat jam makan telah tiba. Apalagi jika kalian melihat kedua anaknya berangkat sekolah maka kalian akan iba menyadari tas mereka yg hampir jebol, sapatu yang retak-retak bagian mid-solenya, baju seragamnya kekecilan karena bertahun-tahun tidak ganti; warnanya sudah mengkusam; yang putih mengkuning yang merah menjadi pink. Sedang semangat bersekolah di hati mereka tak sedikitpun luntur. Kita –alam, yang bersifat sebagai pengayom, apakah tega menyiksa seorang ibu dengan anak-anak yang hidupnya sudah penuh dengan penderitaan..?”
Tanah, Sungai, dan Matahari sontak menunduk lesu. Mereka menyadari fakta yang memilukan itu.
“Lalu kepada siapa kita harus menghukum semua dosa-dosa ini?” Matahari bertanya-tanya.
“Aneh sekali, bagaimana bisa Matiem seperti tidak meraup keuntungan duniawi sama sekali dari dosa-dosa itu.” Sungai kebingungan.
Elemen-elemen alam yang lain tidak ada yang bisa menjawab dan setiap kali mereka hendak murka kepada Matiem, kemurkaan itu selalu terpadamkan oleh keibaan mereka sendiri.
***
Usai menjemur kain-kain yang sudah diwarnai, Matiem membaringkan punggungnya yang sudah sedikit melengkung itu di atas kursi bambu panjang di depan rumah. Matanya terpejam, sebagian wajahnya terpapar sinar matahari yang selamat menerobos daun-daun pohon rambutan, seulas senyum terpoles di wajah itu. Tidur siang, barangkali itulah kenikmatan terbesar dalam hidup yang ia miliki. Burung-burung emprit berkicau-kicau, terbang bertengger dari pohon rambutan ke pohon-pohon yang lain. Selang beberapa saat Rofiq dan Aqib membuka gagang penutup pagar bambu rumah. Sekolah dasar telah usai, mereka pulang ke rumah, mengucapkan salam sembari mengkecup punggung tangan ibunya yang setengah tertidur.
“Cuci tangan, cuci kaki, lalu makanlah! Itu ada gereh sama sambal di meja.” Tutur Matiem dengan mata terpejam.
Mereka menuruti apa yang dikatakan ibunya, lalu bergegas ke sungai untuk memancing dan bermain bersama teman-teman kampung setelah selesai makan. Pada saat itulah sungai ingin menangis dan tersenyum. Ia ingin menangis karena rasa bersalah telah meracuni anak-anak dan ingin tersenyum karena melihat anak-anak yang tertawa-tawa bahagia bermain bersamanya. Tidak ada satupun warga desa yang menyadari jika azo-azo[1] yang dibuang oleh Matiem tadi kini merambat pada tubuh dan rambut anak-anak kampung, termasuk kedua anaknya sendiri.
***
“Ayang, malming ini kita ke mall nya..?”
“Iya beb tenang aja, nanti kita nonton lalu shopping seperti biasa.”
“Ah.. makasih ayang, klo gitu aku mau siap-siap mandi terus dandan.”
“Satu jam cukup ya.. Aku jemput pakai mobil satu jam lagi.”
“Okey.. dada ayang, I love you..”
“I love you too.”
Pintu kamar Linda terbuka, Ibunya yang melintas tidak sengaja mendengar pembicaraan Linda dengan pacarnya.
“Mau shopping lagi? Mau beli apa?” Tanya si ibu sambil menyedekapkan tangan dan bersandar pada tembok dekat pintu.
“Kayanya aku mau beli cardigan sama blouse, oh iya.. sama tank top juga hehe..”
“Hmm bukannya minggu kemarin habis beli blouse ya..?”
“Iya sih.., tapi itukan warna hitam. Nanti aku mau beli yang warna krem biar lebih banyak variasinya..”
Ibunya menghela napas menyerah, turun ke lantai bawah sambil menggeleng-geleng kepala, ia tahu kalau pun Linda diingatkan dia hanya akan marah-marah lalu mutung. Tak lama kemudian David datang menjemput. Mereka berangkat ke mal dengan harum parfum. Menonton film horor sambil makan popcorn, lalu melipir pada outlet-outlet pakaian. Asal pembaca tahu juga Linda dan pacarnya ini hampir setiap minggu beli pakaian. Bahkan dua almari besar yang ada di kamarnya itu sudah hampir terisi penuh. Sepertinya sebentar lagi Linda akan membeli almari pakaian yang ketiga.
***
Tahun berganti tahun sejak hari kemerdekaan Indonesia raya, masih berdiri sebuah pohon beringin di salah satu ujung lekukan sungai, menjadi saksi akan perubahan besar yang dialami oleh alam. Mereka terlihat semakin renta dan hendak mati. Namun dari sekian unsur alam yang ada, sungai lah ternyata yang paling terlihat tanda-tanda kesekaratannya. Yang jelas dia sudah tidak secantik dahulu. Tubuhnya yang dulu bening kini terlihat keruh dan penyakitan. Keluarga-keluarga ikan yang dulu hidup tentram nan ramai di dalamnya, kini pecah berantakan, banyak yang tidak berumur panjang, ukuran tubuhnya juga semakin mengecil dari generasi ke generasi. Tidak hanya itu, sepertinya banyak dari mereka yang mulai mengimplementasikan konsep childfree, hal itu terbukti dari populasi ikan yang terus menurun secara signifikan. Bahkan yang lebih ngerinya lagi, sebagian dari mereka ada yang memutuskan untuk berkelamin ganda. Ada-ada saja. Tampaknya sudah sebegitu kacau negeri ikan di sana, bukan hanya dari sisi ekonomi tapi juga moral. Sedang aktivis-aktivis ikan yang berdiskusi sepanjang hari tak kunjung menemukan titik terang ataupun solusi yang bisa mereka terapkan demi menanggulangi prahara ini. Satu hal yang semua ikan tahu, segala kekacauan itu bermula sejak adanya air-air lain yang mengungsi pada sungai. Air-air berwarna mereka menyebutnya.
Pohon beringin di ujung lekukan itu menyaksikan sungai mulai saat masih cantik-cantiknya hingga sekarang yang sedang sekarat-sekaratnya. Pohon itu sedang berfikir dan mengingat-ingat masa kecilnya; sepertinya anak-anak manusia yang bermain di sungai ketika sungai masih jernih relatif bisa hidup lama dibandingkan anak-anak di sekian tahun kemudian yang bermain di sungai yang mulai keruh. Katanya banyak dari mereka yang meninggal sebab bermacam-macam penyakit seperti kanker, gangguan pernafasan, gangguan saraf, hingga penyakit urogenital[2].
***
Pagi harinya, Linda memasukkan hasil belanjaan semalamnya ke almari, memiak-miak lipatan demi lipatan. Pakaian yang tertumpuk dan tergantung begitu banyak di dua almari besar itu membuatnya kesusahan dalam memilah. Setelah berdiri terpekur dan mematut-matut dagunya, akhirnya dia memutuskan untuk menarik 2 kaos, 1 blouse, 1 tanktop, dan 2 celana jeans yang kelihatannya merupakan pakaian-pakaian paling tua yang ia punya. Warnanya sudah sedikit pudar, hanya sedikit. Sebenarnya mereka masih bagus dan layak pakai, tapi tidak bagi Linda. Sejurus kemudian ia berjalan keluar, membuang sejumlah pakaian itu pada tong sampah depan rumah.
Hari itu hari minggu, hari bagi petugas sampah perumahan Linda berkeliling mengangkuti sampah-sampah yang ada. Pukul 3 sore, seluruh sampah di perumahan itu telah terangkut di atas bak truk. Dua pak tua berbaju hijau bersepatu boot kuning pun membawa truk ke TPA yang terletak di ujung kota. Baru memasuki desa dari TPA, sekitar 1 KM sebelum sampai pada gerbang TPA bau busuk sudah tercium menyengat, air berwarna keruh mengalir menghiasi jalanan. Beraroma lebih buruk dari yang ada pada bak truk. Kedua petugas sampah menutupi hidungnya dengan ujung kerah baju mereka. Situasinya lebih buruk disbanding minggu-minggu sebelumnya. Belum sampai pada TPA, jalan mereka kesana terhalangi bambu-bambu yang terbentang dan plang-plang bertuliskan “kami menolak keras transisi pembuangan sampah di desa ini!” “Dipaksa sehat di tumpukan sampah!” “Kami juga berhak memiliki air bersih!” Tampaknya jalan menuju TPA sedang diblokade oleh warga, tampaknya TPA sedang mengalami overload. Dengan adanya beberapa warga yang menjaga pemblokadean jalan itu, kedua petugas sampah perumahan Linda terpaksa putar balik.
Sekarang yang ada di kepala sejoli petugas sampah itu adalah harus dikemanakan sampah yang sedang mereka angkut ini. Jelas tidak mungkin jika sampah-sampah ini dikembalikan pada pemiliknya masing-masing, bisa kena pecat mereka, lalu bagaimana mereka menghidupi keluarga mereka nantinya. Lowongan pekerjaan seperti apa yang bisa didapat jika keahlian yang dimiliki oleh bapak tua seperti mereka hanyalah memegang sampah. Di tengah perjalanan pulang dan tidak harus tahu kemana, tiba-tiba truk sampah itu berhenti saat sedang melalui jembatan yang agak sepi, mereka menengok saling bertatapan dan mengangguk setuju tanpa sepatah kata. Sejurus kemudian truk melipir turun pada bibir sungai di bawah jembatan. Di situ truk menyatu dengan gelapnya malam, sejoli tadi membakar tembakau sembari menunggu jalan pada jembatan benar-benar sepi.
***
Sekitar seratus tahun lamanya sejak mereka berkenalan satu sama lain, dan selama seratus tahun itu pula beringin merasa kehidupannya terusik. Kini dia sudah tampak amat renta, mahkota pohonnya meranggas, kulit batang pohonnya sudah pecah-pecah dan ditumbuhi jamur dibeberapa sisi, di daun-daunnya yang sudah kecokelatan timbul bercak-bercak hitam—menanti giliran untuk gugur dari rantingnya, dan akar-akar pohon timbul menjulang keluar dari dalam tanah. Sebagian uluran akar itu mencepit dan melilit selembar tank top yang kelihatannya masih pecengas-pecengis setelah seratus tahun lamanya. Beringin itu ingin menghabisi tank top di akhir hayatnya. Tapi biar bagaimanapun, usaha beringin sia-sia. Tank top berwarna merah itu malah semakin pecengas-pecengis berada di tengah pelukan kaki beringin yang baru saja mati.
Tamat
[1] zat warna yang mengandung gugus N=N pada struktur molekulnya, yang berfungsi sebagai gugus pembawa warna (gugus kromofor). Zat warna tersebut bila tereduksi akan menghasilkan senyawa amina aromatik, yang kemudian dapat menyebabkan kanker.
[2] Berhubungan dengan organ ekskresi atau reproduksi.