
Oleh: Aqib Muhammad Kh*
rumahkata.id. Anak-anak manusia masih sama seperti dahulu: lahir dari rahim ibu, dalam hal pengasuh dan pendidik, perbedaannya, sekarang anak-anak manusia —lebih condong— dididik dan diasuh oleh media sosial.
Padahal, sudah barang tentu kita tahu bagaimana euforia media sosial: penuh intrik dan polemik, penuh manipulasi dan keji. Mereka yang tidak bertanggung jawab melemparkan tuduhan dan menyebarkan fitnah justru sembunyi tangan. Mereka melempar batu sembunyi tangan. Tidak tanggung jawab sama sekali terhadap konten-konten yang sangat destruktif bagi masyarakat jagad maya.
Anak-anak manusia pada umumnya —terlebih anaknya orang-orang kantoran— kini motoriknya lebih banyak dididik dan diasuh oleh handphone. Anak-anak kecil cemburu pada temannya yang punya handphone, bukan karena pencapaian intelektual baik hafal surat-surat pendek, lancar membaca Al-Qur’an, maupun hafal Ayat Kursi.
Memang, tidak dipungkiri bahwa handphone juga memiliki banyak manfaat. Tetapi bila kita tilik lagi secara empiris, seberapa manfaatkah kita menggunakannya? Pisau akan tajam pada tangan yang benar, begitu pula handphone, manfaat pada orang yang tepat (menggunakannya). Handphone yang digunakan oleh anak pun demikian, lebih condong ke hal-hal negatif bila tidak secara intensif diawasi orangtua. Betapa banyak gambar-gambar tidak senonoh yang berkeliaran di dalamnya? Sekali gambar itu dilihat, yang muncul banyak sekali. Miris.
Anak-anak kecil zaman ini terlampau tiada punya empati. Kebanyakan mereka lebih mementingkan game daripada melaksakan titah Ibu untuk sekadar membeli garam di toko kelontong dekat rumah. Parahnya, ketika dipanggil sampai diteriaki oleh Ibu berkali-kali, mereka tidak mengindahkan sama sekali. Ironi bukan? Pasti. Bahkan, mereka tidak hanya diam, tetapi justru membentak ibunya dan dengan lantang berkata: “Bentar, Bu! Gamenya belum kelar.” Padahal, ولا تقل لهما اف، ولا تنهر هما، وقل لهما قولا كريما. (“Dan janganlah (sekali-kali) kamu mengatakan kepada mereka berdua (orangtua) kata “ah”, dan janganlah kalian membentaknya. Berkatalah kamu kepada mereka dengan ucapan yang mulia.” (Surat Al-Isra’ ayat 23).
Untung nasib salah seorang anak bila Ibu tidak mengutuk jadi batu. Ehehe. Andaikata dikutuk, apa iya jadi? Wallahu a’lam. Allah Maha Tahu.
Menyoal anak kecil yang kecanduan handphone akut, saya teringat salah satu berita yang membuat geram. Anak kecil diduga menggunakan kuota dari pemerintahan untuk mengakses pornografi. Lalu bagaimana bila video itu dipraktikkan pada teman perempuannya? Cukuplah kiranya itu dijadikan ibrah (pelajaran) oleh para orangtua. Mereka harus melek akan pesatnya perkembangan digital. Anak-anak kecil harus dibatasi penggunaannya.
Membahas pengaruh handphone adalah tidak hanya membahas tentang anak kecil, tetapi juga pada perkembangan mindset dan manusianya. Perkembangan digital juga berdampak pada ekonomi kreatif di dunia maya, aspek-aspek sosial kemasyarakatan dan adat kebudayaannya. Salah satu contoh, Al-Qur’an, wirid, kitab para salaf yang dimodifikasi menjadi sebuah aplikasi dan dapat dengan mudah diakses semua orang.
Zaman sekarang, apalagi; maraknya penggunaan handphone menjadi momok paling serius dalam mengunggah semua hal yang diinginkan. Orang membawa Al-Qur’an di halte dan membacanya sembari menunggu bus, divideo dan diviralkan. Orang duduk membuka dan membaca kitab kuning di stasiun diviralkan. Besar kemungkinan itulah —sependek pengamatan saya— yang mendasari banyak orang, terlebih kaum santri, ketika membaca Al-Qur’an, wirid, atau kitab, di handphone. Saya pun demikian adanya.
Suatu kali saya menaiki bus. Di tas saya Al-Qur’an dan beberapa kitab. Melihat banyak orang di sekitar, saya agak malu. Pada akhirnya saya membaca wirid melalui aplikasi wirid yang saya unduh dari playstore. Semoga kita semua dapat menggunakan handphone sebagaimana mestinya, melek terhadap teknologi dan mendapatkan kemuliaan Al-Qur’an. اللهم ثبت قلوبنا على ذكرك ومحبةك. امين.
Dan seperti itulah terus: zaman akan berkembang, akan menuju era yang dulu adalah imajinasi menjadi kenyataan. Belum lagi yang dekat-dekat ini terdengar oleh kupingku: manusia bisa membeli alat asisten pribadi dua puluh empat jam. Apa jadinya? Pengasuh yang dulu adalah ibu harus tetap teguh dipertahankan. Teknologi boleh berkembang pesat (karena itu keniscayaan), tetapi pengasuh manusia harus tetap manusia, tidak boleh teknologi dan alat-alat pintar lain. Teknologi memang jauh lebih intelektual, lebih cerdas, lebih pintar dari manusia, tetapi untuk adab dan kecerdasan emosional tidak dipunyai oleh teknologi dan alat secanggih apapun. Dan itu tidak akan mungkin!