
Oleh: Aqib Muhammad Kh*
“كم من صائم ليس له من صيامه الا الجوع والعطس.”
“Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi yang didapat dari puasanya hanyalah dahaga dan lapar.” (Hadits shohih riwayat Imam Nasa’i).
Adalah keniscayaan bahwa puasa secara syara’ berarti menahan untuk tidak makan dan minum dari mulai terbitnya matahari sampai terbenamnya matahari (Maghrib). Sehingga mafhumnya, yang dikatakan “shaim” adalah mereka yang tidak makan dan tidak minum dari wajtu yang ditentukan itu tadi. Oleh sebab itu, Imam Ghozali memerinci tingkatan puasa menjadi tiga bagian:
1. Puasa orang awam
2. Puasa orang khusus
3. Puasa orang khususulkhusus
Puasa orang awam
Menurut Imam Ghozali, puasa jenis ini adalah puasa yang biasa sering dilakoni oleh orang awam. Artinya, sebatas menahan lapar dan haus untuk tidak makan dan minum dari semenjak terbit hingga terbenamnya matahari serta tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa menurut syariat, seperti onani, memasukkan air ke lubang tubuh, dsb (baca selengkapnya hal-hal yang membatalkan puasa secara fikih).
Puasa orang khusus
Pada level puasa jenis kedua ini, shaim (orang yang berpuasa) tidak hanya menahan lapar dan haus dan meninggalkan mubtilatusshaum, tetapi shaim juga menahan jawarih (anggota tubuh), baik telinga, mata, lisan, dari melakukan perbuatan dosa, seperti ghibah, namimah, dan lain-lain.
Bila boleh menjabarkan lebih, zaman ini mungkin seorang shaim juga tidak menyebarkan berita hoax atau membikin konten-konten yang memicu adanya fitnah dan pertikaian, apalagi membikin konten yang mempovokasi perpecahan umat. Naudzubillah. Puasa khusus adalah puasanya orang-orang shalih.
Puasa orang khususulkhusus
Tingkatan tertinggi puasa menurut Imam Al-Ghozali adalah puasanya orang-orang yang super istimewa (khususulkhusus).
Pada tingkatan ini, seorang shaim tidak hanya meninggalkan maksiat jawarih (anggota tubuh), tetapi juga mendasarkan puasa pada taraf ridho dan meniadakan keraguan pada hal-hal ukhrawi (akhirat). Seorang shaim pada tingkatan ini mengosongkan pikirannya dari urusan duniawi dan memfokuskan pikiran pada Allah Swt. Bila terbesit dalam hati seorang shaim selain Allah, seperti memikirkan harta, pangkat, dan lainnya, maka dianggap batal sudah puasanya menurut keyakinan seorang shaim sendiri. Subhanallah.
Puasa tingkatan ketiga ini adalah puasanya para nabi, para shiddiqin, dan para muqarrabin. Sulit sekali bagi kita untuk melakukannya.
Klasifikasi Imam Ghozali di atas merupakan sebuah standarisasi rapot kita dalam berpuasa. Sudah di level berapakah puasa kita?
Maka, yang lebih harus perhatikan dari lapar dan haus ketika puasa adalah bagaimana tubuh kita untuk jangan melakukan kemaksiatan. Juga, selain itu, setidaknya kita tahu betapa lapar dan haus adalah sebuah stimulus untuk kita jangan sampai tidak mengasihi mereka yang lapar dan haus ketika tidak berpuasa.
Semoga puasa kita digolongkan sebagai puasa yang maqbulan (diterima) di sisi Allah Swt. Amin, ya Mujibassailin.