Daftar Isi: [Sembunyikan] [Tampilkan]

Oleh : Mujahidin Nur, Wakil Ketua LBM PWNU, DKI. Direktur Peace Literacy Institute Indonesia, Jakarta*

Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah meluluhlantakkan menara babel (migdael babel) humanisme abad 21. Barat yang selama ini getol mengkampanyekan kemanusiaan dalam konflik Israel dan Palestina Barat pula yang terdepan mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah tragedi kemanusiaan di Palestina elit-elit politisi Amerika dan Eropa alih-alih mengutuk malah mendukung aksi kolonialisme dan tindakan tak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Israel terhadap masyarakat Palestina. Bahkan para filsuf Barat juga ramai-ramai berusaha mencarikan argumentasi pembenaran pembunuhan yang dilakukan oleh Israel, seperti dilakukan salah satunya oleh Bernard-Henri Levy, filsuf Yahudi berkebangsaan Perancis yang dikenal dengan gerakan Nouveaux Philosopes.

Perancis bersama Jerman, Inggris, dan Amerika adalah negara-negara yang konon pionir dalam mencetuskan ide-ide pencerahan (enlightenment). Namun mereka pula yang pertama kali mengkhianatinya. Suara 124 negara di PBB mendesak gencatan senjata Israel dan Palestina. Tetapi, suara mayoritas tersebut dianggap angin lalu, dan Amerika terus mengirimkan persenjataan lengkap ke wilayah Timur Tengah, untuk mendukung Israel.

Humanisme Barat telah runtuh dan menjadi bangkai busuk bersamaan dengan kematian warga sipil Palestina. Pada tanggal 15 November 2023, Kantor Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Kordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) merilis data terbaru korban jiwa akibat konflik Israel-Palestina, ada 11.800 lebih warga dipil yang menjadi syuhada akibat bombardir yang dilakukan oleh Israel.  4,653 di antaranya adalah anak-anak dan 3,145 merupakan perempuan.

OCHA juga merilis data 14,245 orang dalam kondisi luka parah, dan 1,4 juta tercatat sebagai pengungsi internal sejak pecah konflik 7 Oktober. Rumah Sakit Al-Quds, menurut Amnesti Internasional, telah menampung 8,000 orang pengungsi internal (www.amnesty.org.uk). Namun, di mata Israel yang arogan karena dukungan penuh dari Perancis, Inggris, Jerman dan Amerika, puluhan ribu nyawa masyarakat Palestina seperti tidak ada nilainya.

Ambivalensi humanisme Barat dalam kasus konflik Israel-Palestina ini memberikan pelajaran berharga bahwa dunia sedang balik arah. Perang Dunia III dimulai dengan lebih dahulu membunuh nilai-nilai kemanusiaan universal. Seruan-seruan kemanusiaan yang digaungkan oleh warga negara di seluruh dunia dianggap sebagai suara sumbang yang tidak penting untuk didengarkan.

Dengan demikian, mengakhiri konflik Israel-Palestina semakin menempuh jalan menanjak dan terjal. Arogansi Barat semakin sulit untuk dihentikan, karena sudah tidak ada lagi standar universal yang bisa dijadikan pegangan bersama. Negara-negara Barat sudah tidak mempedulikan lagi rekomendasi konstruktif baik dari PBB, OKI (Organisasi Konfrensi Islam), Amnesti Internasional, dan warga sipil dunia.

Mengentaskan Kelaparan

Di tengah reruntuhan puing-puing nilai kemanusiaan, perhatian global harus segera diperluas, dari peristiwa perang ke dampaknya. Perang memang membunuh jiwa-jiwa yang tidak bersalah, namun menyelamatkan nyawa orang yang masih hidup tidak kalah pentingnya. Mereka yang masih hidup sebagai pengungsi terancaman keselamatan jiwanya termasuk terancam kelaparan.

Para pengungsi yang berjumlah jutaan itu hari ini berlindung di rumah-rumah sakit, walaupun tentara Israel terus memaksa agar para dokter dan rumah sakit memindahkan pasien ke wilayah Utara yang relatif “aman” dalam kacamata Israel, tetapi menjadi neraka bagi warga Gaza sendiri, karena tidak ada listrik, saluran air juga tidak ada peralatan medis.

Rumah Sakit itu sendiri bukan tempat mencari hidup, tetapi tempat menjaga hidup dari ancaman kematian. Di rumah sakit tidak ada fasilitas untuk menjaga kelangsungan hidup, sementara para pengungsi tidak saja kehilangan rumah melainkan juga mata pencaharian. Di sinilah, warga Palestina yang masih hidup terancam kelaparan.

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, pada tahun 2023 ini, lebih dari seperempat populasi Palestina terancam kelaparan. Dalam satu dekade terakhir, krisis kemanusiaan berdampak langsung pada persoalan mata pencaharian para petani, nelayan, dan peternak untuk menjalankan pekerjaan untuk menyambung hidup.

FAO memperkirakan, bantuan-bantuan bahan pokok dasar akan menolong warga Palestina dari ancaman kelaparan dan memulihkan optimisme kelangsungan hidup mereka. FAO mencontohkan, setiap USD 1 yang diinvestasikan untuk membangun tangki penampungan air hujan di Tepi Barat dapat menghasilkan penghematan biaya tangki air sebesar USD 38.

Untuk itulah, dalam rangka terus menegakkan kemanusiaan, bukan saja penting mendesak gencatan senjata antara Israel dan Palestina, agar tidak menambah korban berjatuhan berikutnya. Tetapi, kemanusiaan juga harus dibuktikan dengan menjamin warga Palestina yang masih hidup tetap terjamin kelangsungan hidup mereka, dengan menyelamatkan mereka dari ancaman kelaparan dan hilangnya pekerjaan.

Kemanusiaan dan pengentasan kelaparan adalah satu paket. Krisis kemanusiaan akibat perang bukan saja berdampak pada tingkat kematian tetapi juga pada tingkat kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, dan hilangnya mata pencaharian. Jika perang memang belum memungkinkan untuk segera diakhiri, maka bantuan kemanusiaan untuk warga Palestina mendesak untuk segera diwujudkan.

Memastikan nyawa manusia selamat dari ancaman kematian sama pentingnya dengan memastikan nyawa orang yang hidup selamat dari ancaman kelaparan dan kehausan. Bahkan, sekalipun nantinya gencatan senjata berhasil diwujudkan dalam waktu dekat, pemulihan ekonomi adalah pekerjaan lain yang sama susahnya dibandingkan perang. Nilai-nilai kemanusiaan kita betul-betul sedang diuji melalui perang Israel-Palestina ini. Mereka yang terpanggil nuraninya atas penderitaan masyarakat Palestina itulah manusia yang mempunyai nurani dan tidak buta mata serta hatinya!*

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *