“Ingin Lakpesdam Jadi Seperti Bappenas, Apakah Gus Yahya Menjadi Marxis?”

  • Bagikan
Gambar Gus Yahya

“Ingin Lakpesdam Jadi Seperti Bappenas, Apakah Gus Yahya Menjadi Marxis?”

Oleh: Aguk Irawan M.N. adalah pegiat literasi, warga NU biasa*

Tak dinyana, Fikih Peradaban malah menjadi manifestasi “proyek” Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), ketika muncul gagasan untuk mengubah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) menjadi seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional alias Bappenas’.

Sungguh tak menyangka, bayangan indah tentang masa depan warga Nahdliyin untuk masa depan peradaban tiba-tiba dibuat seakan runtuh seketika. Dulu pernah membayangkan, betapa cerah masa depan NU setelah wacana Fikih Peradaban disosialisasikan pertama kalinya.

Lakpesdam, yang semula diniatkan untuk mengkaji isu-isu strategis kebangsaan dan keislaman, kini tampak didistorsi. Malangnya, penyebab korosi niatan awal yang suci itu perkara politik—yang dimaknai secara sempit.

Pada Pembukaan Muktamar Pemikiran NU 2023 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Jumat (1/12/2023), ujug-ujug Ketua Umum PBNU Gus Yahya menunjuk mantan Presiden Klub Sepakbola Itali, Inter Milan, sebagai Ketua Lakpesdam. Intelektual muda seperti Hasanudin Ali pun harus menanggalkan posisinya, dan menjadi mantan Ketua Lakpesdam.

Pada saat yang sama, Gus Yahya mengaku dirinya ingin membangun teknokrasi dalam operasi organisasional NU. Menurutnya, figur Erick Thohir adalah orang yang sangat berpengalaman dan mempunyai track record kinerja yang bagus sekali dalam soal teknokrasi.

Kehadiran Erick Thohir dalam Lakpesdam diyakini oleh Gus Yahya berdampak besar. Kepemimpinan Erick Thohir dia yakini bakal mampu mengubah Lakpesdam PBNU layaknya Bappenas, tetapi—katanya—khas PBNU. Dengan kata lain, di masa depan, Lakpesdam adalah Bappenas itu sendiri.

Materialisasi Lakpesdam

Lakpesdam tidak bisa didegradasi menjadi seperti Bappenas, karena sama saja dengan menurunkan aspek-aspek idealis menjadi lebih materialis. Menurunkan Lakpesdam menjadi selevel Bappenas sama dengan menurunkan level PBNU menjadi partai politik.

Ada dua dunia yang berbeda: yang pertama di ranah ideologis, dan yang terakhir di ranah materialis.

Bagi aliran materialis, materi adalah hal utama. Sementara ide, spirit, dan gagasan merupakan perkara sekunder. Berbeda halnya dengan aliran idealis, yang paling utama adalah ide sementara materi sebagai yang sekunder (George Novack,The Origins of Materialism, 1979). Dan karenanya, mustahil Lakpesdam didegradasi dari peran fungsinya yang semula idealis menjadi materialis sebagaimana Bappenas.

Tanpa mengurangi rasa hormat sedikit pun, figur Erick Thohir adalah seorang pengusaha sukses yang sedang menjabat sebagai Menteri BUMN. Selain itu, Erick menjabat sebagai anggota Komite Olimpiade Internasional, mengingat kesuksesannya menakhodai Inter Milan. Tetapi, harus dicatat, menyerahkan Lakpesdam PBNU kepada Erick Thohir adalah indikasi Gus Yahya telah sepenuhnya mengadopsi ideologi Marxisme.

Marxisme bukan semata-mata analisa konflik sosial, tetapi lebih abstrak lagi: sebagai segala jenis pemikiran filosofis yang bersifat politis dan menggunakan interpretasi materialis dalam menganalisa pembangunan sosial-ekonomi masyarakat (Luke March, Contemporary Far Left Parties in Europe: From Marxism to the Mainstream?, 2009:126–143).

Tidak heran apabila opini publik yang berkembang massif adalah politik balas budi Gus Yahya kepada Erick, yang gagal mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Sementara kampanye PBNU mencitrakan Erick Thohir sudah cukup lama, sejak perayaan 1 Abad NU awal 2023. Lebih-lebih NU sudah terlanjur “banyak utang” kepada pemerintah, tepatnya dengan viralnya pemberitaan bahwa PBNU mendapatkan jatah izin tambang dari Jokowi.

Gus Yahya gagal mengantarkan Erick Thohir untuk menjadi wakil presiden siapapun. Satu-satunya jalan agar “utang” itu sedikit dilunasi adalah memberi tempat yang strategis bagi Erick Thohir di tubuh PBNU, yaitu posisi Ketua Lakpesdam—mengingat Erick Thohir satu gerbong dengan Jokowi dalam mendukung pasangan Prabowo-Gibran di Pemilu 2024 nanti.

Penyimpangan “Aksi” atas Narasi Besar Fikih Peradaban PBNU

Mengubah Lakpesdam menjadi sekadar selevel dengan Bappenas pada hakikatnya adalah bentuk pengkorosian jati diri Lakpesdam itu sendiri. Kebijakan mensejajarkan Lakpesdam dengan Bappenas menyimpang jauh dari cita-cita ideal Fikih Peradaban. Sebab, Lakpesdam selama ini sudah ideal dan sejalan dengan hakikat Fikih Peradaban, dan tidak perlu didegradasi lagi.

Dalam bukunya yang berjudul Fiqhu al-Tahaddhur al-Islami, Abdul Majid Umar an-Najjar (2006:20) menjelaskan bahwa fikih peradaban itu adalah relasi antara manusia dengan manusia lainnya, juga antara manusia dengan alam tempat tinggalnya, dalam rangka menumbuh kembangkan nilai-nilai spiritual maupun material (al-muktasabat al-maddiah wa al-ma’nawiah). Mengubah spirit Lakpesdam seperti spirit Bappenas sama saja dengan mengurangi nilai spiritual (muktasabat ma’nawiah).

Idealnya, kerja peradaban dalam konteks pengembangan sumber daya santri adalah mencetak generasi berdaulat, bukan pengekor fanatis pasif (muhibbin). Sebaliknya, mencetak kader yang mampu menjadi “kepanjangan” tangan para guru, ustadz, kiai, dan alim ulama dalam rangka menyebarkan ilmu, dakwah Islamiah, dan kerja-kerja peradaban.

Fikih Peradaban hanya akan berhasil apabila lulusan pesantren mampu memosisikan diri mereka sebagai subjek progresif, bukan objek pasif. Dalam urusan kebaikan, SDM santri (Nahdliyin) harus menjadi ‘fail‘ penggerak. Mereka bertanggung jawab untuk menjadi garda terdepan dalam mentransformasikan masyarakat ke arah yang lebih baik.

NU memiliki prinsip: jika ahli ilmu tidak dapat memberikan manfaat, maka keberadaan mereka di tengah masyarakat seperti orang bodoh, seperti duri di tengah bunga-bunga (Fauzan Alfas, Napak Tilas Menjelang Satu Abad Nahdlatul Ulama, Jilid 1, 2021: 21).

Untuk menjadi individu yang bermanfaat, maka jiwa kepemimpinan yang berdaulat, subjek yang aktif, bukan objek yang pasif, adalah prasyarat utamanya. Demikianlah cara untuk menyelamatkan gagasan Fikih Peradaban dari degradasi secara struktural.*

Aguk Irawan M.N. adalah pegiat literasi, warga NU biasa.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *